MANADOPOST.ID— Sekolah-sekolah di Sulawesi Utara (Sulut) wajib waspada. Protokol kesehatan ketat wajib diterapkan selama pembelajaran tatap muka (PTM). Ini menyusul sejumlah daerah di Indonesia yang sudah melaporkan terjadinya klaster di satuan pendidikan,sebulan pasca PTM terbatas berjalan.
Dari laporan mingguan WHO, disebutkan, ada beberapa klaster Covid-19 yang dilaporkan di awal September. SMA 1 Padang Panjang, Sumatera Barat misalnya. Sebanyak 54 siswa dikabarkan positif Covid-19 saat menjalani PTM terbatas. Kemudian, klaster Institut Shanti Bhuana di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Per 12 September, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat melaporkan 139 mahasiswa positif Covid-19 dari hasil tes PCR.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Suharti mengatakan, pelaksanaan PTM terbatas tetap dilanjutkan meski terjadi kasus. Menurutnya, jika muncul kasus Covid-19 di sekolah tak lantas menutup seluruh sekolah di Indonesia yang telah melaksanakan PTM terbatas ini. ”Kalau ada kejadian satu bukan berarti satu Indonesia ditutup,” ujarnya.
Ia menegaskan, bahwa pemerintah daerah sudah memiliki prosedur dalam menangani kasus Covid-19 di daerahnya, termasuk di sekolah. Dia mencontohkan, DKI Jakarta. Begitu ditemukan kasus Covid-19 maka sekolah akan langsung ditutup untuk melakukan tracing hingga treatment pasien. ”Pemda sudah ada arahan di SKB empat Menteri,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, kebijakan membuka sekolah kembali bukan dilakukan dengan serta-merta. Tapi, melalui banyak pertimbangan.sekolah harus memenuhi daftar periksa yang sudah diamanatkan dalam SKB empat Menteri. Di mana, daftar periksa ini disusun oelh banyak pihak, mulai dari Kemendikbudristek, satgas Covid-19, dan Kementerian Kesehatan. Sehingga, parameter yang harus dipenuhi sudah memenuhi standar keamanan untuk menghindari penularan COVID-19 di sekolah. ”Ada daftar periksa yang harus diisi sekolah. Kalau daftar belum terpenuhi maka tentu sekolah tidak bisa melaksanakan PTM terbatas,” kata dia.
Selain itu, PTM dimulai ketika vaksinasi Covid-19 bagi para pendidik telah dilaksanakan. Diakuinya, target vaksinasi untuk tenaga kependidikan meleset dari rencana awal. Yang tadinya direncanakan rampung Juni, ternyata belum mencapai 100 peren hingga kini.
Pihaknya pun sudah berkomunikasi dengan kemenkes guna mempercepat proses vaksinasi bagi tenaga kependidikan ini. ”Kemenkes sudah terbitkan surat edaran agar Pemda memprioritaskan vaksinasi pada guru dan pendidik,” pungkasnya.
Sementara itu, anak usia sekolah di Sulut yang sudah divaksin Covid-19 masih minim. Karena itu, orang tua diimbau membawa anak mereka untuk divaksin. Sejak awal September, Pemprov Sulut telah mencanangkan Gebyar Vaksinasi Covid-19 bagi remaja. Pemprov Sulut menargetkan 245.339 anak usia 12-17 tahun mendapat vaksinasi Covid-19. Per 18 September, baru 20,32 persen menerima vaksin dosis 1 dan dosis 2 12,67 persen.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) angkat bicara mengenai ribuan vaksin yang terpaksa dibuang karena tidak bisa digunakan. Salah satunya, yang terjadi di Aceh Tenggara. Di mana, dari 62 ribu dosis telah diterima sebanyak 49 ribu sudah disuntikkan, 1.812 tidak terpakai, dan 103 rusak.
Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menolak bila vaksin-vaksin ini disebut tak terpakai. Menurutnya, ini adalah wastage rate.
Dia menjelaskan, dalam pengelolaan vaksin ada beberapa kondisi yang perlu dipahami. Pertama, ada kemungkinan vaksin rusak dalam proses distribusi ke kabupaten/kota ke puskesmas/faskes. Kemudian, adanya dosis sisa yang tidak bisa dipakai karena batas maksimal vaksin yang telah dibuka hanya 6 jam. Sementara, di lapangan, ada sasaran vaksinasi yang sudah terdaftar tapi tidak datang seluruhnya.
”Sementara 1 vial itu untuk diberikan kepada 10 orang. Sehingga ini yang menjadikan vaksin tersebut tidak bisa digunakan. Angka ini kita sebut wastage rate,” jelasnya.
Diperkirakan, watage rage ini bakal mencapai 5-10 persen. Dalam kasus Kabupaten Aceh Tenggara ini, wastage rate masih dibawahnya, yakni sekitar 3,8 persen. ”Jadi kejadian ini masih dalam batas wajar pengelolaan logistik vaksinasi dan pelaksanaan vaksinasi,” katanya.
Diakuinya, pada daerah rural yang jarak antara Puskesmas dengan tempat tinggal penduduk cukup jauh masih jadi tantangan tersendiri dalam upaya percepatan vaksinasi. Termasuk, masyarakat yang masih enggan divaksin karena masalah kepercayaan. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat (Sumbar).
Sebagai informasi, Sumbar termasuk salah satu provinsi dengan capaian vaksinasi terendah di Indonesia. Merujuk data vaksin.kemkes.go.id per 8 September 2021, Sumbar masuk dalam kategori lima terbawah. Untuk dosis pertama meliputi NTB 18,95 peresn, Papua 18,89persen, Maluku Utara 18,05 persen, Sumbar 17,9 persen, dan Lampung 14,54 persen. Sementara dosis kedua, Maluku 10,72 persen, Sumbar 9,93 persen, NTB 9,84 persen, Maluku Utara 9,37 persen, dan Lampung 8,44 persen.
Pada daerah-daerah yang menolak vaksinasi, Nadia mengatakan, edukasi dan sosialisasi akan tetap jadi scenario utama dalam mendorong percepatan vaksinasi di sana. Sambil, tetap focus pada daerah yangg menyumbang kasus terbanyak atau laju penularannya tinggi.
Kemudian, untuk stock vaksin yang masih banyak atau menumpuk di daerah-daerah tersebut, diharapkan pemerintah provinsi bisa segera merelokasi ke kabupaten/kota lain. Terutama, yang penyuntikan per harinya tinggi. ”Sementara dari Kemenkes, kita tidak akan mendistribusi vaksin tambahan dulu sampai stok kurang dari 14 hari,” tegasnya.(*)