28.4 C
Manado
Tuesday, 28 March 2023

Soal Siapa Perwakilan Myanmar, PBB Dilema Memilih Militer atau Sipil

MANADOPOST.ID – PBB dalam keadaan dilema. Dalam rapat dewan umum PBB (UNGA) pekan depan, mereka harus memutuskan siapa yang akan diterima sebagai perwakilan dari Myanmar.

Apakah duta besar yang diusulkan oleh junta militer ataukah dari pemerintahan bayangan. Kedua belah pihak sama-sama mengirimkan surat yang mengusulkan calonnya masing-masing.

Duta Besar Myanmar untuk PBB saat ini, Kyaw Moe Tun, adalah utusan pemerintahan sebelumnya ketika belum ada kudeta militer. Sudah berulang kali junta militer Myanmar mencoba menggantikan posisi Kyaw Moe Tun dengan orang lain. Bukan hanya karena dia bukan orang militer, tapi juga karena Kyaw Moe Tun sangat lantang menyuarakan kritik dan menentang kudeta.

PBB harus membuat keputusan bijak. Sebab memilih salah satu di antara dua pihak itu akan menimbulkan masalah. Jika yang dipilih adalah diplomat yang ditunjuk junta militer, maka itu bakal kian menguatkan mereka. Militer telah membunuh lebih dari seribu orang sejak kudeta terjadi. Jika kursi dibiarkan kosong maka itu bisa merusak peluang solusi politik.

Baca Juga:  Caplok Wilayah Ukraina, PBB Tegaskan Referendum Rusia Tak Sah Menurut Hukum Internasional
1491945 Adx_ManadoPost_InPage_Mobile

Memilih wakil dari Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) juga tak kalah pelik. Itu justru akan berisiko mengisolasi militer. Padahal di saat bersamaan para diplomat regional mendorong gencatan senjata agar bisa menyalurkan bantuan kemanusiaan. Situasi di Myanmar masih panas karena sebagian penduduk memilih angkat senjata lewat perang gerilya. PBB memperkirakan 176 ribu orang telah kehilangan tempat tinggalnya sejak kudeta Februari lalu. Ekonomi ambruk dan sistem kesehatan terpuruk.

Sebanyak 11 pakar hukum terkemuka ikut bergerak mencari solusi. Mereka menandatangani surat terbuka berisi pendapat hukum terkait siapa yang jadi wakil Myanmar di PBB. Mereka menegaskan bahwa junta militer memiliki catatan buruk tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu yang menandatangani adalah ketua jaksa pendiri pengadilan pidana internasional PBB untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda Richard Goldstone.

Baca Juga:  Perindo, PSI, Hanura, PKP, PBB, Garuda Gabungkan Kekuatan Demi Pilpres 2024

’’Mereka mengabaikan sebagaian besar kecaman PBB dan pihak lain. Tidak ada prospek dialog,’’ bunyi surat para pakar hukum tersebut seperti dikutip The Guardian. Baik NUG maupun junta militer sama-sama tidak memiliki kontrol efektif atas seluruh wilayah Myanmar.

Koordinator Pusat Studi Asean di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura Sharon Seah Li-Lian menegaskan, saat ini semua mata tertuju pada sikap akhir PBB. Tapi menurut Seah, PBB tidak akan membuat keputusan bulan depan. Kemungkinan besar keputusan akan ditunda dan dibahas lebih lanjut hingga Desember. (Jawa Pos)

MANADOPOST.ID – PBB dalam keadaan dilema. Dalam rapat dewan umum PBB (UNGA) pekan depan, mereka harus memutuskan siapa yang akan diterima sebagai perwakilan dari Myanmar.

Apakah duta besar yang diusulkan oleh junta militer ataukah dari pemerintahan bayangan. Kedua belah pihak sama-sama mengirimkan surat yang mengusulkan calonnya masing-masing.

Duta Besar Myanmar untuk PBB saat ini, Kyaw Moe Tun, adalah utusan pemerintahan sebelumnya ketika belum ada kudeta militer. Sudah berulang kali junta militer Myanmar mencoba menggantikan posisi Kyaw Moe Tun dengan orang lain. Bukan hanya karena dia bukan orang militer, tapi juga karena Kyaw Moe Tun sangat lantang menyuarakan kritik dan menentang kudeta.

PBB harus membuat keputusan bijak. Sebab memilih salah satu di antara dua pihak itu akan menimbulkan masalah. Jika yang dipilih adalah diplomat yang ditunjuk junta militer, maka itu bakal kian menguatkan mereka. Militer telah membunuh lebih dari seribu orang sejak kudeta terjadi. Jika kursi dibiarkan kosong maka itu bisa merusak peluang solusi politik.

Baca Juga:  Antony Blinken: AS Tidak Punya Strategi Soal Mengubah Rezim di Rusia

Memilih wakil dari Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) juga tak kalah pelik. Itu justru akan berisiko mengisolasi militer. Padahal di saat bersamaan para diplomat regional mendorong gencatan senjata agar bisa menyalurkan bantuan kemanusiaan. Situasi di Myanmar masih panas karena sebagian penduduk memilih angkat senjata lewat perang gerilya. PBB memperkirakan 176 ribu orang telah kehilangan tempat tinggalnya sejak kudeta Februari lalu. Ekonomi ambruk dan sistem kesehatan terpuruk.

Sebanyak 11 pakar hukum terkemuka ikut bergerak mencari solusi. Mereka menandatangani surat terbuka berisi pendapat hukum terkait siapa yang jadi wakil Myanmar di PBB. Mereka menegaskan bahwa junta militer memiliki catatan buruk tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu yang menandatangani adalah ketua jaksa pendiri pengadilan pidana internasional PBB untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda Richard Goldstone.

Baca Juga:  Stop Berdebat, Israel-Hamas Sudah Gencatan Senjata, Ini Kata Presiden Amerika Joe Biden

’’Mereka mengabaikan sebagaian besar kecaman PBB dan pihak lain. Tidak ada prospek dialog,’’ bunyi surat para pakar hukum tersebut seperti dikutip The Guardian. Baik NUG maupun junta militer sama-sama tidak memiliki kontrol efektif atas seluruh wilayah Myanmar.

Koordinator Pusat Studi Asean di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura Sharon Seah Li-Lian menegaskan, saat ini semua mata tertuju pada sikap akhir PBB. Tapi menurut Seah, PBB tidak akan membuat keputusan bulan depan. Kemungkinan besar keputusan akan ditunda dan dibahas lebih lanjut hingga Desember. (Jawa Pos)

Most Read

Artikel Terbaru