25.4 C
Manado
Saturday, 25 March 2023

Kisah Kepala Puskesmas di Minut, Hadapi Terjangan Ombak Demi Warga di Dua Pulau

LAPORAN: Jendry Dahar, Minahasa Utara

DEMI sebuah tugas mulia, jalan terjal harus dilalui para tenaga kesehatan (nakes) di wilayah kepulauan Kabupaten Minahasa Utara (Minut). Berbagai pengalaman mencekam jadi hal lazim yang dilalui.

Seperti diceritakan dr Harold Sepang, Kepala Puskesmas (Kapus) Tinongko. Pernah sekali, kesungguhannya diuji di tengah laut. Kala itu, kapal yang ditumpangi tiba-tiba mati di tengah ombak besar saat cuaca sedang hujan lebat. Para penumpang histeris. Ada yang gemetar, menangis, bahkan sampai muntah-muntah. Beruntung, setelah terombang-ambing sekian jam, awak hingga para penumpang kapal bisa tiba dengan selamat.

“Itu salah satu tapi bukan satu-satunya pengalaman bertugas di wilayah kepulauan. Setiap hari saya dan teman-teman selalu punya pengalaman yang menguji kami,” tuturnya sambil tersenyum kecil.

1491945 Adx_ManadoPost_InPage_Mobile

Dia lalu mengisahkan pengalaman selama lima tahun bertugas di Puskesmas Tinongko sejak dilantik Januari 2018. Bersama rekan-rekannya, dr Harold melayani warga tujuh desa di Pulau Nain dan Pulau Mantehage.

Di sana, listrik dan jaringan seluler yang sulit diakses sudah menjadi hal lumrah. Sebelum ada bantuan sollar cell dari pemerintah, listrik hanya beroperasi pukul 18.00 Wita hingga 24.00 Wita. Padahal jam pelayanan mereka di siang hari. Air bersih juga susah. Makanya jangan heran, kaum lelaki banyak yang harus tahan tidak mandi sampai dua hingga tiga hari.

Baca Juga:  Kader PKB Minut Wajib Menangkan SGR-PDM

Meski begitu, tugas di Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK) dinikmatinya sebagai sebuah pengabdian.
Semangatnya tak kendor.
“Hidup adalah perjalanan yang harus dilalui, tidak peduli seberapa buruk jalan itu, hidup butuh perjuangan, apapun yang kita lewati akan berbuah manis,” ungkapnya.

Selama lima tahun berada di Puskesmas Tinongko, panas terik, hujan badai, deru ombak, pasang surut air, sudah menjadi hal yang biasa.

dr Harold menceritakan, pertama kali menjabat dirinya disuguhkan dengan kebiasaan warga yang membuang air besar sembarangan. Itu menjadi tantangan baginya untuk memberikan edukasi kepada warga. “Puji Tuhan di tahun 2019 Desa Mantehage Tiga atau Tinongko mendeklarasi stop buang air besar sembarangan,” katanya.

Tantangan lain datang saat harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa ke Desa Tarente. “Jika ada Posyandu Di Desa Tarente, kami harus menempuh perjalanan panjang, karena di sana tidak memiliki akses untuk motor. Kalau pun melewati laut, itu menyesuaikan dengan air pasang. Jadi kami harus melalui Desa Nain kemudian mendaki gunung,” ceritanya.

Baca Juga:  Warga Kepulauan Apresiasi Shintia Gelly Rumumpe Serahkan Bantuan Pribadi

Sementara bila ada yang membutuhkan bantuan medis pada malam hari, dia bersama tim harus menyebrangi lautan.
Namun dibalik tantangan yang dihadapi, semua dijalani dengan syukur.

Satu per satu infrastruktur penunjang mulai tersedia. Selain listrik yang lebih memadai, rumah dinas tempat mereka tinggal sudah lebih layak. Meski lebih tepat disebut asrama, tapi sekarang sudah direnovasi. Sebelumnya, rumahnya memprihatinkan. Di pinggir hutan bakau kena abrasi. Dinding picah, lantai sudah terbelah, binatang kaki seribu seringkali keluar dari lantai.

“Sekarang secara bertahap semua sudah lebih baik. Kami mensyukuri bantuan pemerintah. Semoga ke depan kualitas pelayanan kesehatan di wilayah pesisir kepulauan bisa semakin baik dengan berbagai ketersediaan infrastruktur penunjang,” tandasnya. (jen)

LAPORAN: Jendry Dahar, Minahasa Utara

DEMI sebuah tugas mulia, jalan terjal harus dilalui para tenaga kesehatan (nakes) di wilayah kepulauan Kabupaten Minahasa Utara (Minut). Berbagai pengalaman mencekam jadi hal lazim yang dilalui.

Seperti diceritakan dr Harold Sepang, Kepala Puskesmas (Kapus) Tinongko. Pernah sekali, kesungguhannya diuji di tengah laut. Kala itu, kapal yang ditumpangi tiba-tiba mati di tengah ombak besar saat cuaca sedang hujan lebat. Para penumpang histeris. Ada yang gemetar, menangis, bahkan sampai muntah-muntah. Beruntung, setelah terombang-ambing sekian jam, awak hingga para penumpang kapal bisa tiba dengan selamat.

“Itu salah satu tapi bukan satu-satunya pengalaman bertugas di wilayah kepulauan. Setiap hari saya dan teman-teman selalu punya pengalaman yang menguji kami,” tuturnya sambil tersenyum kecil.

Dia lalu mengisahkan pengalaman selama lima tahun bertugas di Puskesmas Tinongko sejak dilantik Januari 2018. Bersama rekan-rekannya, dr Harold melayani warga tujuh desa di Pulau Nain dan Pulau Mantehage.

Di sana, listrik dan jaringan seluler yang sulit diakses sudah menjadi hal lumrah. Sebelum ada bantuan sollar cell dari pemerintah, listrik hanya beroperasi pukul 18.00 Wita hingga 24.00 Wita. Padahal jam pelayanan mereka di siang hari. Air bersih juga susah. Makanya jangan heran, kaum lelaki banyak yang harus tahan tidak mandi sampai dua hingga tiga hari.

Baca Juga:  JG Susuri Bawah Laut Likupang

Meski begitu, tugas di Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK) dinikmatinya sebagai sebuah pengabdian.
Semangatnya tak kendor.
“Hidup adalah perjalanan yang harus dilalui, tidak peduli seberapa buruk jalan itu, hidup butuh perjuangan, apapun yang kita lewati akan berbuah manis,” ungkapnya.

Selama lima tahun berada di Puskesmas Tinongko, panas terik, hujan badai, deru ombak, pasang surut air, sudah menjadi hal yang biasa.

dr Harold menceritakan, pertama kali menjabat dirinya disuguhkan dengan kebiasaan warga yang membuang air besar sembarangan. Itu menjadi tantangan baginya untuk memberikan edukasi kepada warga. “Puji Tuhan di tahun 2019 Desa Mantehage Tiga atau Tinongko mendeklarasi stop buang air besar sembarangan,” katanya.

Tantangan lain datang saat harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa ke Desa Tarente. “Jika ada Posyandu Di Desa Tarente, kami harus menempuh perjalanan panjang, karena di sana tidak memiliki akses untuk motor. Kalau pun melewati laut, itu menyesuaikan dengan air pasang. Jadi kami harus melalui Desa Nain kemudian mendaki gunung,” ceritanya.

Baca Juga:  Banggar Kebut Pembahasan, Target Penetapan APBD-P 2020 Akhir September

Sementara bila ada yang membutuhkan bantuan medis pada malam hari, dia bersama tim harus menyebrangi lautan.
Namun dibalik tantangan yang dihadapi, semua dijalani dengan syukur.

Satu per satu infrastruktur penunjang mulai tersedia. Selain listrik yang lebih memadai, rumah dinas tempat mereka tinggal sudah lebih layak. Meski lebih tepat disebut asrama, tapi sekarang sudah direnovasi. Sebelumnya, rumahnya memprihatinkan. Di pinggir hutan bakau kena abrasi. Dinding picah, lantai sudah terbelah, binatang kaki seribu seringkali keluar dari lantai.

“Sekarang secara bertahap semua sudah lebih baik. Kami mensyukuri bantuan pemerintah. Semoga ke depan kualitas pelayanan kesehatan di wilayah pesisir kepulauan bisa semakin baik dengan berbagai ketersediaan infrastruktur penunjang,” tandasnya. (jen)

Most Read

Artikel Terbaru