29.4 C
Manado
Tuesday, 30 May 2023

ADA APA? Jokowi Beri Sanksi kepada Firli Bahuri Cs dan Kepala BKN? Ini Penyebabnya

MANADOPOST.ID-Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Presiden Joko Widodo memberi sanksi kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri Cs dan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana.

 

Hal ini diminta Ombudsman dalam surat yang dikirimkan ke Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani, menyusul tidak diindahkannya rekomendasi Ombudsman, perihal hasil Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK yang malaadministrasi. Surat yang dibuat pada pada 29 Maret 2022 itu ditandatangani Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih.

 

1491945 Adx_ManadoPost_InPage_Mobile

Dalam suratnya, Ombudsman menjelaskan, sebagai penyelenggara negara, sudah seharusnya, baik pimpinan KPK maupun Kepala BKN mematuhi hukum. Namun, karena keduanya mengabaikan rekomendasi lembaganya, mengacu pada Pasal 39 UU No.37 Tahun 2008, serta merujuk pada Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (5), dan ayat (7) beserta penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka keduanya harus diberi sanksi. Adapun, sanksi maksimal yang bisa dijatuhkan adalah pembebasan jabatan.

 

“Bersama surat ini kami menyampaikan bahwa berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat atas nama Sdr Yudi Purnomo dkk, setelah melalui proses pemeriksaan laporan dan upaya resolusi dan monitoring, Ombudsman RI sesuai kewenangan menerbitkan rekomendasi Ombudsman mengenai malaadministrasi yang terjadi pada proses pengalihan pegawai KPK menjadi Pegawai ASN,” sebagaimana bunyi surat Ombudsman RI, Minggu (3/4).

 

“Bahwa terlapor dan atasan terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman, akan tetapi rekomendasi Ombudsman RI dimaksud belum dilaksanakan sampai saat ini atau setidak-tidaknya sampai dengan surat ini disampaikan kepada DPR RI dan Presiden RI,” sambungnya.

Baca Juga:  Nabi Muhammad Dihina, Jokowi Didesak Panggil Dubes India, Presiden PKS: Harus Responsif dan Tegas

 

Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih membenarkan surat tersebut. Dia mengakui, surat itu ditujukan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI, lantaran KPK tidak mengindahkan rekomendasi Ombudsman RI dari hasil investigasi terkait polemik TWK.

 

“Memang benar ORI (Ombudsman RI) mengirimkan surat tersebut,” tegas Najih dikonfirmasi.

 

Dalam laporan hasil akhir pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI terkait polemik TWK, menyatakan TWK KPK maladministrasi. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng membeberkan malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dia menyebut, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020, hingga pada Januari 2021.

 

Menurutnya ide TWK muncul sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir, tepatnya pada 25 Januari 2021. TWK diduga disisipkan dalam syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.

 

“Ombudsman Republik Indonesia berpendapat, proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat hingga lima kali tidak muncul klausul TWK, sekaligus mengutip notulensi 5 Januari 2021. Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini,” ujar Robert dalam konferensi pers daring beberapa waktu lalu.

Baca Juga:  MENOHOK! Firli Bahuri Disebut Pede Ingin jadi Capres, Gak Laku di Parpol, Urusan KPK Belum Selesai

 

Dalam hasil penelusuran Ombudsman, pihaknya juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1/2021. Menurutnya, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja.

 

Tetapi hal itu dinilai tidak dipatuhi. Dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.

 

“Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa,” ungkap Robert.

 

Dia pun mempersoalkan terkait berita acara rapat harmonisasi, yang justru ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK, Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.

 

“Sekali lagi yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT,” papar Robert.

 

Firli beralasan, asesmen TWK telah dinyatakan sah dan tidak melanggar hukum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26 Tahun 2021 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional. Selain itu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tatacara Alih Pegawai KPK menjadi ASN berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 34 Tahun 2021 dinyatakan bahwa Perkom tersebut konstitusional dan sah.(fajar)

MANADOPOST.ID-Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Presiden Joko Widodo memberi sanksi kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri Cs dan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana.

 

Hal ini diminta Ombudsman dalam surat yang dikirimkan ke Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani, menyusul tidak diindahkannya rekomendasi Ombudsman, perihal hasil Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK yang malaadministrasi. Surat yang dibuat pada pada 29 Maret 2022 itu ditandatangani Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih.

 

Dalam suratnya, Ombudsman menjelaskan, sebagai penyelenggara negara, sudah seharusnya, baik pimpinan KPK maupun Kepala BKN mematuhi hukum. Namun, karena keduanya mengabaikan rekomendasi lembaganya, mengacu pada Pasal 39 UU No.37 Tahun 2008, serta merujuk pada Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (5), dan ayat (7) beserta penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka keduanya harus diberi sanksi. Adapun, sanksi maksimal yang bisa dijatuhkan adalah pembebasan jabatan.

 

“Bersama surat ini kami menyampaikan bahwa berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat atas nama Sdr Yudi Purnomo dkk, setelah melalui proses pemeriksaan laporan dan upaya resolusi dan monitoring, Ombudsman RI sesuai kewenangan menerbitkan rekomendasi Ombudsman mengenai malaadministrasi yang terjadi pada proses pengalihan pegawai KPK menjadi Pegawai ASN,” sebagaimana bunyi surat Ombudsman RI, Minggu (3/4).

 

“Bahwa terlapor dan atasan terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman, akan tetapi rekomendasi Ombudsman RI dimaksud belum dilaksanakan sampai saat ini atau setidak-tidaknya sampai dengan surat ini disampaikan kepada DPR RI dan Presiden RI,” sambungnya.

Baca Juga:  BIKIN PANAS TELINGA! Bandingkan Era SBY dan Jokowi, Pengamat: Beda Jauh, Warga Sangat Puas pada SBY

 

Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih membenarkan surat tersebut. Dia mengakui, surat itu ditujukan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI, lantaran KPK tidak mengindahkan rekomendasi Ombudsman RI dari hasil investigasi terkait polemik TWK.

 

“Memang benar ORI (Ombudsman RI) mengirimkan surat tersebut,” tegas Najih dikonfirmasi.

 

Dalam laporan hasil akhir pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI terkait polemik TWK, menyatakan TWK KPK maladministrasi. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng membeberkan malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dia menyebut, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020, hingga pada Januari 2021.

 

Menurutnya ide TWK muncul sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir, tepatnya pada 25 Januari 2021. TWK diduga disisipkan dalam syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.

 

“Ombudsman Republik Indonesia berpendapat, proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat hingga lima kali tidak muncul klausul TWK, sekaligus mengutip notulensi 5 Januari 2021. Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini,” ujar Robert dalam konferensi pers daring beberapa waktu lalu.

Baca Juga:  Dua Pekan di KPK, Putra Sulut Cs Sita Rp8,2 Miliar dan Tangkap 64 Orang Koruptor

 

Dalam hasil penelusuran Ombudsman, pihaknya juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1/2021. Menurutnya, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja.

 

Tetapi hal itu dinilai tidak dipatuhi. Dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.

 

“Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa,” ungkap Robert.

 

Dia pun mempersoalkan terkait berita acara rapat harmonisasi, yang justru ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK, Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.

 

“Sekali lagi yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT,” papar Robert.

 

Firli beralasan, asesmen TWK telah dinyatakan sah dan tidak melanggar hukum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26 Tahun 2021 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional. Selain itu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tatacara Alih Pegawai KPK menjadi ASN berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 34 Tahun 2021 dinyatakan bahwa Perkom tersebut konstitusional dan sah.(fajar)

Most Read

Artikel Terbaru