MANADOPOST.ID— Rindu Cica Yuemi ke sang suami, Lettu (P) anumerta Munawir, sedikit terobati saat tabur bunga dari atas KRI Soeharso di lokasi tenggelamnya KRI Nanggala-402, Jumat pekan lalu (30/4). ”Saya ikhlas dengan apa yang telah terjadi,” kata Cica.
Perempuan kelahiran Pati, Jawa Tengah itu menuturkan, perjumpaan terakhir dengan Munawir terjadi sebelum dia berangkat berlayar dalam misi bersama KRI Nanggala-402. Semua berjalan seperti biasa. ”Hanya, waktu itu tidak sempat pulang ke rumah di Keputih (Surabaya), namun tinggal di flat Komando Armada (Koarmada) II,” terangnya.

Pada Rabu pertengahan bulan lalu (14/4), Munawir baru sandar dari operasi pertama. Karena mau berlayar lagi, pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu memilih untuk menginap di flat kawasan Koarmada II. ”Saya dan anak-anak yang ngalahin datang ke sana,” ujarnya.
Cica hanya diminta untuk mengambil baju koko putih kesayangannya. Tepatnya dua hari sebelum keberangkatan untuk berlayar bersama Nanggala pada Senin (19/4). Setelah itu, tidak ada kontak lagi antara Cica dan sang suami.

Memang itu sudah biasa terjadi saat Munawir bertugas. Komunikasi jarang dilakukan. Sebab, Cica tahu di kapal pun tidak akan ada sinyal. ”Charge HP (handphone) pun terkadang ditinggal. Hanya lewat doa komunikasinya,” terangnya.
Komunikasi baru terjalin ketika kapal sandar. Atau, saat hendak pulang ke rumah. Itu pun sekadar bilang akan pulang. Tiba-tiba saja sudah di rumah. ”Biasanya juga tidak langsung pulang. Mampir dulu ke KRI Cakra-401, bersih-bersih atau perawatan. Kadang mau magrib baru sampai rumah,” kata Cica.
Munawir memang bukanlah awak kapal asli KRI Nanggala-402. Dia terdaftar sebagai kru di KRI Cakra-401. Namun, saat ini kapal selam itu diperbaiki.
Penugasan Munawir di KRI Nanggala sebagai pelengkap. Sebab, kapal selam buatan Jerman tersebut kekurangan kru. Karena itu, awak kapal KRI Cakra-401 ditarik untuk ditugaskan. Munawir sudah dua kali mengikuti pelayaran dengan KRI Nanggala-402. Posisi pria kelahiran 20 November 1979 itu adalah perwira divisi senjata.
Cica juga mengenang, tiap kali sampai rumah ketika azan berkumandang, sang suami tidak akan masuk rumah dulu. Tapi langsung ke Musala Nur Soleh yang jaraknya 50 meter dari rumahnya di kawasan Keputih Utara, Surabaya. Bahkan, saat di kantor, ketika sedang bertugas dan sudah memasuki azan, dia juga pasti memilih untuk meninggalkan pekerjaannya.
Kenangan itulah yang betul-betul membuat Cica kangen. Apalagi saat dirinya tidur dan Munawir mengaji di sisinya. Saat dini hari, seusai Tahajud hingga subuh. ”Kalau ingat itu rasanya tidak percaya bahwa dia sudah tidak ada,” katanya.
Sosok Munawir yang dikenal Cica juga sangat loyal dengan statusnya sebagai prajurit laut. Samudra begitu dia cintai. Sesekali sang suami juga bercerita tentang kerinduannya untuk melaut.

Pria kelahiran 20 November 1979 itu tidak segan menggantikan rekannya yang tidak bisa berlayar. Tanpa disuruh, pasti mengajukan sendiri. Terkadang jengkel juga dirasakan Cica. ”Enak-enak di rumah malah ikut layar lagi. Kalau ditanya kenapa malah mengajukan diri dan menggantikan rekannya, jawabannya pasti karena kangen,” papar Cica menirukan sang suami.
Aura Aulia Maharani, putri pertama Munawir-Cica, mengenang bagaimana sang ayah selalu meminta tiga. ”Salat, ngaji, puasa. Itu yang selalu dibilang dan diingatkan ayah,” kata dara 18 tahun tersebut.
Aura pula yang rajin mengunggah di Twitter doa dan harapan terhadap sang bapak dan kru lain sejak Nanggala hilang kontak pada Rabu dua pekan lalu (21/4). Unggahannya selalu mendapat taburan empati dari banyak pihak.
Tetangga pun merasakan hal yang sama. Terutama para jamaah di Musala Nur Soleh di Kelurahan Keputih. Munawir dikenal sebagai orang yang cekatan. Sangat peduli akan ketenangan para jamaah saat beribadah.
”Jadi, kalau selesai salat, pasti mencari-cari apa ya bagian musala yang belum dibenahi. Tidak pernah menunggu yang lain. Kalau dia bisa menangani, langsung dilakukan,” kenang Sulbi Zain, salah seorang tokoh masyarakat Keputih.(jawapos)