28.4 C
Manado
Wednesday, 22 March 2023

Produsen Terbesar Dunia, Tapi Warga Berebutan Minyak Goreng, PKS: Wajah Negara Kita Hancur

MANADOPOST.ID–Kelangkaan minyak goreng membuat masyarakat rela mengantre berjam-jam di toko perbelanjaan. Bahkan, mereka rela berdesak-desakan demi mendapatkan minyak goreng yang belakangan ini sulit ditemukan di pasaran.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai kondisi tersebut telah mencoreng wajah Indonesia di mata dunia. Pasalnya, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun rakyatnya kesulitan mendapatkan minyak goreng.

Pada Oktober 2020, Indonesia sempat memproduksi minyak sawit sebesar 5,24 juta ton dengan besaran konsumsi hanya 1,5 juta ton. Meski setahun kemudian pada Oktober 2021, turun 15,8 persen, dimana produksi minyak goreng sebesar 4,41 juta ton, tapi konsumsi masih konstan sekitar 1,5 juta ton.

“Bagaimana dunia tidak memandang miring dengan situasi negara kita, dengan kelimpahan pangan pada komoditas minyak goreng, namun rakyatnya kesulitan mendapatkan produk ini,” kata anggota Komisi IV DPR Fraksi PKS, Andi Akmal Pasluddin, Selasa (8/3).

1491945 Adx_ManadoPost_InPage_Mobile

“Ini kan sudah menjadi ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi. Tidak ada alasan negara ini kekurangan minyak goreng, tapi situasi wajah negara kita sangat miris pada tata kelola komoditas minyak goreng ini,” sambungnya.

Baca Juga:  Waspada! Prakiraan BMKG, Musim Hujan Mulai Akhir September

Akmal mengatakan, komoditas pangan strategis ini mesti dipacu untuk dapat diproduksi dalam negeri. Sehingga kualitas dapat terjaga karena sifat kadaluarsanya yang cepat, dan harganya dapat dikendalikan dengan instrumen kebijakan negara.

Ia mencontohkan seperti beras, gula, turunan kedelai (tahu tempe), cabai, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang dan jagung dapat dioptimalkan produksi dalam negeri. Sedangkan komoditas lain dengan portofolio lahan pertanian yang ada, negara dapat mendatangkan dari luar.

“Saya tidak anti impor. Tapi mesti ada upaya mengurangi jumlah impor pangan ini agar ada pemberdayaan petani peternak sekaligus memberikan kebutuhan pada masyarakat banyak yang sebagai konsumen,” ujar Akmal.

Sementara terkait dengan keseragaman harga, Akmal menyarankan pemerintah memikirkan subsidi transportasi pangan sehingga ada kesamaan harga komoditas pangan antara di desa dan di kota.

Baca Juga:  Gerindra Bakal Gelar Rapimnas, Bahas Pencapresan Prabowo Subianto? Ini Jawaban Ketua DPP

Akmal juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan yang relatif agresif pada penahanan ekspor sehingga stok dalam negeri aman. Hal itu guna meminimalisir antrian panjang dan rebutan minyak goreng di berbagai daerah seperti di Pare-Pare dan Rembang

“Jangan sampai pemerintah menuduh rakyat menimbun minyak goreng. Logika nya di mana mau nimbun, untuk dapat seliter saja rebutan dan setiap pembelian dibatasi maksimal dua liter,” tegasnya.

Politikus asal Sulawesi Selatan ini menyebut, yang perlu ditelusuri adalah kondisi sistemik apa yang berkemampuan menimbun minyak goreng, dengan jumlah besar. Sehingga kelangkaan stok di berbagai wilayah dan pertokoan terjadi.

“Jangan gara-gara minyak goreng, wajah negara kita ini hancur yang memperlihatkan situasi krisis yang buruk akibat perilaku masyarakat yang berebutan demi satu liter minyak goreng,” pungkas Akmal.(Jawapos)

MANADOPOST.ID–Kelangkaan minyak goreng membuat masyarakat rela mengantre berjam-jam di toko perbelanjaan. Bahkan, mereka rela berdesak-desakan demi mendapatkan minyak goreng yang belakangan ini sulit ditemukan di pasaran.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai kondisi tersebut telah mencoreng wajah Indonesia di mata dunia. Pasalnya, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun rakyatnya kesulitan mendapatkan minyak goreng.

Pada Oktober 2020, Indonesia sempat memproduksi minyak sawit sebesar 5,24 juta ton dengan besaran konsumsi hanya 1,5 juta ton. Meski setahun kemudian pada Oktober 2021, turun 15,8 persen, dimana produksi minyak goreng sebesar 4,41 juta ton, tapi konsumsi masih konstan sekitar 1,5 juta ton.

“Bagaimana dunia tidak memandang miring dengan situasi negara kita, dengan kelimpahan pangan pada komoditas minyak goreng, namun rakyatnya kesulitan mendapatkan produk ini,” kata anggota Komisi IV DPR Fraksi PKS, Andi Akmal Pasluddin, Selasa (8/3).

“Ini kan sudah menjadi ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi. Tidak ada alasan negara ini kekurangan minyak goreng, tapi situasi wajah negara kita sangat miris pada tata kelola komoditas minyak goreng ini,” sambungnya.

Baca Juga:  Redam Kenaikan Minyak Goreng, Pemerintah Terapkan Kebijakan Satu Harga

Akmal mengatakan, komoditas pangan strategis ini mesti dipacu untuk dapat diproduksi dalam negeri. Sehingga kualitas dapat terjaga karena sifat kadaluarsanya yang cepat, dan harganya dapat dikendalikan dengan instrumen kebijakan negara.

Ia mencontohkan seperti beras, gula, turunan kedelai (tahu tempe), cabai, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang dan jagung dapat dioptimalkan produksi dalam negeri. Sedangkan komoditas lain dengan portofolio lahan pertanian yang ada, negara dapat mendatangkan dari luar.

“Saya tidak anti impor. Tapi mesti ada upaya mengurangi jumlah impor pangan ini agar ada pemberdayaan petani peternak sekaligus memberikan kebutuhan pada masyarakat banyak yang sebagai konsumen,” ujar Akmal.

Sementara terkait dengan keseragaman harga, Akmal menyarankan pemerintah memikirkan subsidi transportasi pangan sehingga ada kesamaan harga komoditas pangan antara di desa dan di kota.

Baca Juga:  PKS Akhirnya Minta Maaf dan Cabut Anjuran Kader Melakukan Poligami Janda

Akmal juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan yang relatif agresif pada penahanan ekspor sehingga stok dalam negeri aman. Hal itu guna meminimalisir antrian panjang dan rebutan minyak goreng di berbagai daerah seperti di Pare-Pare dan Rembang

“Jangan sampai pemerintah menuduh rakyat menimbun minyak goreng. Logika nya di mana mau nimbun, untuk dapat seliter saja rebutan dan setiap pembelian dibatasi maksimal dua liter,” tegasnya.

Politikus asal Sulawesi Selatan ini menyebut, yang perlu ditelusuri adalah kondisi sistemik apa yang berkemampuan menimbun minyak goreng, dengan jumlah besar. Sehingga kelangkaan stok di berbagai wilayah dan pertokoan terjadi.

“Jangan gara-gara minyak goreng, wajah negara kita ini hancur yang memperlihatkan situasi krisis yang buruk akibat perilaku masyarakat yang berebutan demi satu liter minyak goreng,” pungkas Akmal.(Jawapos)

Most Read

Artikel Terbaru