Oleh: Anton Miharjo*
DULU di awal Maret sampai memasuki awal april, saya salah satu dari sekian banyak orang yang bersepakat dengan pembatasan sosial yang paling keras, seperti lockdown, karantina, atau apapun istilahnya. Saat itu Virus Corona masih ‘bermain-main’ di sekitaran Jabotabek.
Namun saat ini, rasanya sudah tidak tepat lagi memaksakan ide itu. Sebab virus corona telah hadir di seluruh pelosok nusantara. Virus corona telah bersemai di 34 provinsi dan di 370 Kab/kota dengan total yang terkonfirmasi positif, 14.749
Kita juga masih dihadapkan kisruh bantuan sosial untuk warga yang terdampak corona. Semua penjabat pusat dan daerah sibuk bersilat lidah saling menyalahkan dan merasa paling benar.
Menurut temuan survei SMRC tanggal 5-6 mei, ada 49% publik menyatakan bantuan sosial tidak tepat sasaran. Dari total publik yang mengatakan itu, menilai ada warga yang berhak tapi belum menerima bantuan (60%), dan bansos diberikan kepada yang tidak berhak (29%).
Warga yang layak menerima Bansos 34% (data penduduk miskin-Susenas BPS). Namun, dari temuan semua survei SMRC baru 21% warga yang sudah menyatakan telah menerima bansos, dan masih ada 13% yang belum menerima bantuan, atau sekitar 35 juta jiwa dari populasi nasional tahun 2020 yang diproyeksikan 271 juta jiwa.
Situasi itulah yang membuat banyak warga dengan terpaksa keluar rumah untuk mencari nafkah. Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan warga yang memilih keluar rumah, sebab warga butuh hidup.
Warga tidak mungkin hanya bertumpu pada bantuan sosial, yang totalnya sebesar Rp 600.000. Dana sebesar itu, hanya bisa menutupi biaya quota internet anak-anaknya untuk sekolah online.
Saatnya berpikir lebih realistis untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan corona. Berdamai dengan corona harus dimaknai dengan mengenali cara penularannya, membiasakan pakai masker, cuci tangan, selanjutnya move on dan kembali beraktivitas
Tindakan yang paling urgen saat ini adalah memastikan ekonomi kembali normal. Warga didorong kembali berproduksi: Petani kembali ke sawah, warung kopi, tambal ban, bengkel kendaraan, mall, pedagang kaki lima, dan lain-lain diaktifkan lagi.
Semua pekerjaan dan usaha di atas tidak mungkin diselesaikan melalui aplikasi zoom-meeting; Aplikasi zoom tidak bisa membuat Padi datang sendiri di pengilingan.
Kampanye kerja di rumah hanya efektif pada sebagian kecil warga. Sebab menurut data BPS di tahun 2019, ada lebih dari 30 juta jiwa yang bekerja di sektor pertanian dan perikanan, 18 juta jiwa buruh di sektor industri pengelohan dasar, 5 juta jiwa yang bergerak di sektor transportasi dan pergudangan, dan lebih dari 24 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya di sektor perdagangan besar dan eceran. Pekerjaan di atas hanya bisa diatasi dengan cara keluar rumah dan face to face.
Jika membiarkan warga hanyut dalam ketakutan maka hanya akan melahirkan keresahan sosial, seperti pencurian, begal, dan perampasan kendaraan bermotor di siang hari. Hari ini nyaris tiap hari kita mendengar kisah kejahatan seperti itu. Dulu di awal sebaran virus corona, portal di mulut gang berfungsi untuk mencegah sebaran virus corona. Tapi saat ini, ia lebih berfungsi untuk mencegah laju para begal.
Berdiam diri di rumah dan berharap vaksin virus corona cepat ditemukan hanya akan melahirkan pandemi baru: kemiskinan dan Kelaparan.
Badan Pangan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations World Food Programme) menilai wabah corona menambah 135 juta orang masuk ke kelompok sulit mendapatkan makanan. Dengan adanya pertambahan tersebut, WFP memperkirakan ada total 265 juta orang yang kelaparan di seluruh dunia selama pandemi corona.
Di Indonesia menurut temuan survei SMRC di bulan April, ada 77% yang terancam penghasilannya. Dari 77% tersebut, sekitar 33% (atau sekitar 25% dari total populasi) menyatakan sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pokok tanpa pinjaman.
Data Menaker menyebutkan, sepanjang bulan april ada 2,8 juta yang kena PHK, dan mereka memproyeksikan kedepan akan lebih banyak. Saya meyakini data itu, lebih banyak. Sebab banyak perusahaan yang tidak melaporkan buruh yang di PHK, juga banyak industri rumahan yang tidak tercatat di depnaker.
Itulah bahaya nyata hari ini.
Hari ini bukan saatnya lagi membangun ketakutan, pesimisme menatap hidup; dan terjebak pada perdebatan mana yang akan didahulukan: kesehatan atau ekonomi.
Kita tidak bisa bicara tentang kesehatan saja tanpa melihat faktor sosial-ekonomi yang membentuknya.
Jika melihat sejarah peradaban manusia, belum ada catatan sejarah yang menunjukkan negara punah karena serangan virus. Kepunahan satu negara atau rezim lebih banyak disebabkan karena krisis ekonomi. Bubarnya Uni Soviet yang maha kuat dan kejatuhan Soeharto yang perkasa, adalah contoh dari krisis ekonomi.
Kembali ke kehidupan normal dan sembari tetap waspada tentang bahaya virus corona merupakan pilihan bijak. Biarkan petani kembali bergairah, padi menguning, nelayan pulang membawa ikan, dan pastikan warung kopi menghadirkan tawa tanpa takut digebukin satpol PP.(*)
*Bekerja di Saiful Mujani Research and Consulting