MANADOPOST.ID-Politisi PDI Perjuangan Ananta Wahana mengkritik kebijakan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Luthfi soal minyak goreng satu harga.
Menurutnya, kebijakan tersebut merupakan jurus mabuk yang membingungkan rakyat. Pasalnya, kebijakan Mendag tersebut terkesan main-main. Bahkan ada kebijakan yang berusia tidak lebih seminggu.
Pada 19 Januari 2022 melalui Mendag, pemerintah menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter.
Pemerintah berjanji menyediakan 1,5 miliar liter minyak goreng kemasan sederhana maupun premium selama enam bulan. Tersedia di ritel modern, dan seminggu kemudian di pasar tradisional.
Dana subsidi Rp7,6 triliun diambil dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kemudian pada 26 Januari, Mendag mengambil langkah dengan mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO).
Dengan berlakunya DMO dan DPO eksportir memiliki kewajiban memasak minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari total volume ekspor masing-masing perusahaan.
Lalu Kemendag mencabut program subsidi minyak goreng pada 31 Januari 2022. Dengan demikian, kebijakan satu harga minyak goreng Rp14.000 per liter tidak berlaku lagi per 1 Februari 2022.
Sebagai gantinya, Mendag menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah dan kemasan.
Minyak goreng curah paling tinggi dijual Rp11.500 per liter. Sementara minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500, dan minyak goreng kemasan premium dijual paling tinggi sebesar Rp14 ribu per liter.
“Inikan Kebijakan ngawur yang bikin bingung rakyat. Itu kan kayak jurus mabuk, tidak efektif,” kata Ananta kepada Pojoksatu.id, Senin (28/2/2022).
Seharusnya, lanjut Anggota Komisi VI DPR RI itu Mendag mampu menjaga stabilitas harga bahan pangan.
Itu dengan mengeluarkan kebijakan tidak hanya di atas kertas dengan cara melakukan monitoring dan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan kebijakannya.
“Apakah benar harga minyak murah Rp11.500 itu sampai ke seluruh pelosok negeri ini. Faktanya kan tidak,” ujarnya.
“Lalu bagaimana dengan pelaku kejahatan penimbun minyak yang marak itu. Dan apakah DMO dan DPO eksportir sebesar 20 persen dari total volume ekspor tidak terjadi kebocoran,” sambungnya.
Ananta juga mengkritisi masalah subsidi yang seolah-olah bertujuan heroik membela rakyat dan pedagang kecil yang banyak membutuhkan minyak goreng.
Nyatanya rakyat tetap beli minyak goreng mahal. Pedagang kecil juga harus jual dengan harga mahal. “Karena, ya tadi itu, mereka juga beli minyak goreng dengan modal mahal juga,” ungkapnya.
Anggota DPR RI asal Dapil Banten III Tangerang Raya itu juga mengungkap hasil resesnya.
Berdasarkan reses ke Pasar Poris Indah, Kota Tangerang menemukan, selain minyak goreng masih langka dan mahal. “Komoditas pangan lainnya juga mulai merangkak naik,” ucapnya.
Di Pasar Poris Indah minyak goreng curah dijual Rp18.000, minyak merek atau dengan kemasan Rp19.000 per liter.
Selanjutnya, daging sapi Rp150.000 dari harga sebelumnya Rp120.000/kg.
Untuk cabai harga naik dari Rp30.000/kg menjadi Rp.60.000/kg. Sementara kedelai harga masih mahal, tahu tempe juga masih mahal dan pedagang menjual stok lama.
“Kota Tangerang ini kan dekat sekali dengan Jakarta. Tapi minyak goreng langka dan harganya mahal. Banyangkan, bagaimana dengan harga pasar rakyat di pelosok-pelosok negeri ini,” ucapnya.
Soal minyak goreng ini ironis, kata Ananta, lantaran Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006.
Pada 2019, produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Produksi didukung oleh ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang seluas 16,381 juta hektare.
“Karena itu, saya meminta Kemendag serius mengurusi harga minyak goreng dan tidak membuat kebijakan-kebijakan reaktif yang justeru membuat rakyat tambah bingung. Seperti jurus mabuk,” tuturnya.(pojoksatu)