Oleh:
Audy WMR Wuisang
Sekjend DPP PIKI
NARASI adi luhung nan luhur yang juga termaktub dalam Dasar Negara Pancasila, terutama selepas merayakan HUT Pancasila 1 Juni, seakan terkoyak oleh beberapa kejadian menarik. Tetapi, juga sesungguhnya menyesakkan.
Soekarno dkk, boleh sangat bangga bahwa Bangsa kita memang mewarisi sejumlah nilai luhur dan merekat ke-Indonesia-an. Agak mirp konsep Alexis de Tocqueville yang menggoreskan kisah tentang social capital sebagai fundamen ataupun dasar dari demokrasi Amerika.
Tetapi, sudahlah, Amerika mungkin jauh disana. Tetapi, bagi kita ber Indonesia dan menjadi Indonesia, memang seperti tidak tuntas dan selesai meskipun pengakuan itu sudah ada sejak Sumpah Pemuda. Proses ber demokrasi kita seperti jatuh dan bangun, dan sekarang sedang jatuh alias bahasa kerennya regresi. Atau mengalami proses kemunduran.
Kesanggupan dan ketulusan menyatu pada tahun 1945, sesungguhnya bukan satu peristiwa tiba-tiba dan juga bukannya tanpa juang bersama yang panjang. Bukan perjuangan sektoral dan juga bukan sekedar juang kedaerahan. Tetapi, sejumlah perjuangan yang kemudian bersama berkomitmen menyatu sebagai satu BANGSA, Bangsa INDONESIA.
Apa yang sedang kita saksikan belakangan ini di pentas politik, justru semakin memantik rasa penasaran untuk melihat dan menganalisis beberapa hal,
Pertama, pertarungan panjang dan melelahkkan sejak Pemilihan Presiden ternyata tidak pernah selesai dan tuntas. Tetap ada kelompok yang agak malas move on dan selalu mencari celah guna melakukan serangan baliknya. Sekecil apapun cela itu. Bahkan, tak ada cela sekalipun, tetap saja akan diciptakan cela itu. Pandemik Covid 19 menunjukkan secara telanjang feonema ini, apapun kebijakan pemerintah, selalu akan dilihat dari kacamata negatif.
Kedua, kisah aneh soal pemakzulan di tengah deraan Covid 19 ini sesungguhnya terasa menggelikan, karena berlindung dibalik dalil kebebasan akademik. Sangat aneh karena ketika kita bersama berperang melawan kebosanan di rumah, stress kehilangan pekerjaan, ketidakpastian kesinambungan guna makan minum besok, memikirkan pulang ke tempat kerja. Tapi tiba-tiba ada saja akal yang nyeleneh dari para maha pintar bangsa ini untuk memikirkan pemakzulan Presiden. Dan, paham betul mereka mencari perlindungan – KEBEBASAN AKADEMIK.
Ketiga, demokrasi memang akan bisa dan sangat mungkin menjadi alasan untuk melakukan kritik atas apapun. tapi ketika offside alias kelewatan, akan berkata – “ini kan negara demokratis…. “. Tapi kawan, mereka selalu menghujat demokrasi liberal meski sangat senang berlindung dibalik semboyan asas demokrasi untuk kerja yang sudah kelewatan. Dan inipun bukan sekali dua kali kita saksikan di pentas politik nasional kita.
Keempat, belakangan kita sering menyaksikan betapa arus deras informasi, tidak perduli benar ataukah salah, bertebaran dengan tidak mungkin lagi di filter atau disaring secara memadai. Siapapun, dimanapun dan dari mana saja, jika memag ingin, sangatlah bisa menyebarkan berita atau informasi.
Celakanya, bukan sedikit disinformasi alias INFORMASI BOHONG secara sengaja. Dan ini sering digunakan belakangan ini. Demokrasi memang menjamin kebebasan menyebarkan informasi, tetapi ternyata juga memicu selera orang memutar balikkan informasi.
Kelima, kasus protokol penanganan jenazah PDP di RS Pancaran Kasih, Manado-SULUT, menjadi kisah aneh lainnya masyarakat yang kurang disiplin dan sekaligus sangat mungkin, agak kurang teredukasi. Akan tetapi dari sini, dengan kemajuan technologi informasi, segera muncul disinformasi yang disebarkan secara massif.
Celakanya, potensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakt justru sangatlah besar memperhatikan belahan sosiologis masyarakat Manado dan masyarakat SULUT. Apabila juga menimbang situasi nasional, maka ini terasa menajamkan sejumlah perbedaan yang sedang dan sering dipolitisasi.
Keenam, bagaimanapun disinformasi dari kota Manado ini, bukan hanya berpotensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat secara daerah (lokal), tetapi juga amat mungkin mempengaruhi tatanan kehidupan nasional.
Dengan begitu cepat, berita itu, disinformasi itu menyentuh banyak daerah dan bagian lain Indonesia. Satu hal yang rentan adalah, keluarga PDP yang meninggal beragama ISLAM dan RS Pancaran Kasih Manado, milik Gereja terbesar di Sulawesi Utara.
Ketujuh, tuduhan dan disinformasi yang cepat menjalar, sesungguhnya sangat perlu ditangani pihak pemegang otoritas guna menjelaskan kisah sesungguhnya. Selain itu, pemain disinformasi perlu diminta untuk lebih selektif dan lebih sadar akan soal yang sangat mungkin dirusak.
Atau terusakkan oleh penyebaran informasi tanpa memahami konteks keseluruhannya. Tetapi, di tengah stress massal secara sosial dan keletihan pihak tenaga medis dewasa ini, sesungguhnya situasi seperti ini sangat normal. Adalah pemegang otoritas yang semestinya cepat turun tangan.
Kedelapan, pembelajaran penting dari situasi di Manado ini adalah, menurut hemat dan analisis saya, di tengah kejenuhan masyarakat akibat pandemik Covid 19 ini, sangat perlu pemegang otoritas bertindak cepat dan tegas.
Ini disebabkan ambang batas kesabaran masyarakt biasanya agak pendek ketika tekanan bertubi-tubi dan tanpa ujung terus membayangi. Pemerintah baik aparat sipil maupun polisi, mesti lebih responsif dan cepat tanggap membenahi dan menutup lubang besar yang amat mungkin timbul dari disinformasi di level masyarakat.
Sesungguhnya disinformasi juga sedang terjadi di level nasional dan bahkan tokoh dibaliknya tidak jarang tampil dengan tidak ada takutnya. Sayangnya, kontestasi tak usah sejak Pemilihan Presiden membuat kebijakan pemerintah yang KERAS akan dituduh ANTI DEMOKRASI. Dan kebijakan membiarkan akan dicap LEMAH. Sekali lagi, apapun response dari pemerintah saat ini memang sudah disiapkan anti tesis oleh kelompok tersebut.
Pertaruhan disinformasi di kota Manado akan sangat mungkin mempengaruhi tidak hanya stabilitas Kota Manado, tetapi bahkan politik dan belahan nasional karena konflik tak usai pasca PilPres.
Karena itu, proses klarifikasi yang sepihak tidak akan menyelesaikan masalah. Mesti pemegang otoritas yang menyelesaikannya, serta sekaligus meminta pertanggungjawaban penyebaran informasi tanpa memahami konteks persoalan secara keseluruhan.
Kita baru saja menyaksikan persoalan kecil yang dengan cepat membesar di Amerika Serikat, juaranya demokrasi. Akibat keterlambatan penanganan. Kitapun amat mungkin mengalaminya karena stress sosial, memendeknya kesabaran di level masyarakat. Jika tidak cepat ditangani. Demokrasi memiliki cara sendiri untuk menyelesaikannya, tetapi tidak akan selesai jika dibiarkan. Bahkan memicu bala.(*)