Oleh: Dr. Audy R. R. Pangemanan*
TUJUH puluh enam tahun silam, tepatnya 10 November 1945, para pejuang dan rakyat terlibat pertempuran besar yang sangat bersejarah di Surabaya. Pertempuran itu dicatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Bukan saja karena betapa gagah beraninya para pejuang dan rakyat saat itu melawan tentara Inggris, tetapi juga karena banyaknya korban jiwa akibat pertempuran tersebut. Mayor Jenderal TNI (Purn.) Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik dalam tulisannya menggambarkan pertempuran Surabaya sebagai sebuah pertempuran besar yang terkenal secara internasional. Betapa rakyat kampung-kampung Surabaya telah mengorbankan 20.000 jiwa penduduknya dan Inggris kehilangan serdadunya dalam pertempuran dengan senjata modern pada waktu itu. Beliau juga mengingatkan, tiap kali kita merayakan Hari Pahlawan, 10 November, kita menyatakan supaya kita membangkitkan semangat seperti pada waktu 10 November 1945, di mana rakyat Kota Surabaya melawan tentara Inggris yang ingin menghukum dan menundukkan penduduk Kota Surabaya. Mengapa rakyat begitu rela mengorbankan nyawa dalam pertempuran Surabaya? Apakah agar disebut sebagai pahlawan? Pada pertempuran saat itu, mungkin tidak sempat sedetikpun terlintas tentang popularitas menjadi pahlawan dibenak para tokoh seperti Bung Tomo dan pejuang lainnya. Pertempuran Surabaya adalah murni bentuk perlawanan rakyat karena tidak ingin ditundukkan, sebagai bangsa yang telah merdeka 17 Agustus 1945. Bahkan menurut saksi sejarah lainnya, Soemarsono, dirinya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran Surabaya itu. Baginya, pahlawan sebenarnya adalah rakyat.
Berefleksi dari peristiwa pertempuran Surabaya, kata pahlawan sejatinya tidak semata-mata melekat pada individu, tapi pada kesadaran dan keberanian kolektif yang bermuara pada gerakan komunal dan gerakan massal untuk membebaskan diri dari penjajahan; menjadi merdeka seutuhnya. Pahlawan tidak diciptakan, tetapi terbentuk oleh adanya kesamaan nilai-nilai pada masing-masing individu tentang apa yang harus diperjuangkan atau bahkan dikorbankan demi sebuah kebenaran. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut adalah apa yang kini kita sebut sebagai Pancasila sejak dikemukakan Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945. Bung Karno menyebut Pancasila secara murni digali dari kepribadian atau watak asli manusia dan bangsa Indonesia. Dengan demikian nilai keberanian, perjuangan, dan bela tanah air sebagai bentuk kepahlawanan adalah juga murni Pancasila.
Pada tahun 2016 yang lalu, Lemhanas melaksanakan jajak pendapat (polling) tentang refleksi semangat nilai-nilai kepahlawanan. Variabel pokok yang diukur dalam polling ini adalah sifat dan nilai kepahlawanan yang saat ini berkembang dalam masyarakat yang mencakup patriotisme, nasionalisme, rela berkorban, berani membela kebenaran, hingga berani melaporkan berbagai hal yang melanggar hukum kepada yang berwajib. Mengutip hasil polling tersebut, secara umum fakta yang diperoleh adalah 46,2% responden mengungkapkan bahwa nilai-nilai kepahlawanan dalam profesi tokoh politik/ anggota DPR masih lemah. 50,6% responden menganggap penjiwaan nilai kepahlawanan dalam masyarakat makin lemah, dan 50,1% responden menilai bahwa nilai-nilai kepahlawanan dalam profesi aparat penegak hukum masih rendah.
Meskipun terjadi penurunan nilai-nilai kepahlawanan dalam masyarakat dan elit politik maupun para aparatur penegak hukum, 48% responden menyatakan keberaniannya dalam mengungkap berbagai tindakan melanggar hukum (korupsi, narkoba, dan kriminalitas). Telaah hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan adanya pemahaman nilai-nilai kepahlawanan yang berkutat pada dua hal yang mendasar yaitu patriotisme dan nasionalisme. Responden yang memahami nilai-nilai kepahlawanan pada sisi patriotisme mencapai 25,1 persen, sedangkan nasionalisme 14,2 persen. Adapun yang menilai keduanya sebesar 58,8 persen. Apa arti hasil polling tersebut? Para peneliti yang tergabung dalam tim jajak pendapat itu menyatakan tumbuhnya demokrasi dan politik tanpa diimbangi dengan dasar ideologi nasional yang kuat dalam hal ini Pancasila, akan berdampak pada terjadinya degradasi nilai-nilai kepahlawanan dalam wujud menipisnya nasionalisme, patriotisme, rela berkorban, dan keberanian untuk melaporkan apabila terjadi penyimpangan hukum.
Survey lain tentang pelaksanaan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila yang dilaksanakan Median (2021) menemukan 49 persen responden menjawab Pancasila belum dilaksanakan dengan baik dan benar. Dari hasil survey tersebut, terdapat lima alasan Pancasila belum dilaksanakan dengan baik dan benar. Pertama, korupsi makin membesar. Kedua, ada masalah kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan. Ketiga, hukum masih tajam ke bawah. Keempat, ada diskriminasi dan intoleransi. Dan kelima, belum ada persatuan. Berbagai survey lain dalam beberapa tahun terakhir dengan tema pengamalan nilai-nilai Pancasila juga memiliki hasil yang hampir sama. Ada kecenderungan sebagian masyarakat masih sulit mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai permasalahan yang mendera Indonesia, memperlihatkan telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Saat ini, kita masih menghadapi rendahnya kesadaran membayar pajak, tingginya korupsi, masalah sampah dan aktifitas perusakan lingkungan, terkikisnya persatuan dan kesatuan bangsa yang mengarah pada disintegrasi bangsa, masalah dekadensi moral, penyalahgunaan narkoba, rendahnya kualitas penegakan hukum yang berkeadilan, serta ancaman radikalisme dan terorisme.
Perilaku-perilaku tersebut menunjukkan sikap tidak mensyukuri kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang telah diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan. Sebuah tantangan besar bagi kita agar tidak menciderai makna Pancasila dan kepahlawanan secara kolektif. Kita harus segera keluar dari jebakan seremoni peringatan hari-hari bersejarah yang hanya menggambarkan makna nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air dan bela Negara pada tataran simbolisasi bukan aktualisasi. Setiap tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan, tetapi hanya memaknainya sebatas pada perjuangan melawan penjajah dimasa lalu. Sungguh, perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan patut terus kita hormati dan hargai sampai kapanpun. Meski demikian, bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap pahlawan harus kita konkritkan melalui sikap dan perilaku hidup yang baik. Masih banyak yang belum menyadari bahwa kepahlawanan tidak hanya identik dengan memegang senjata, tetapi bagaimana mempertahankan nilai-nilai dasar kehidupan. Itulah mengapa, menurut Romo Benny Susetyo, kita perlu memaknai kepahlawanan lebih luas dan mendalam. Menurutnya, “Pahlawan bukan sekedar mitos melainkan mereka yang terus-menerus menemukan kreativitas dalam memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat sesuai dengan kemampuannya”. Kategori pahlawan juga dapat dinilai dari adanya rasa memiliki dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang berarti bagi bangsa dan Negara, yaitu berani berkorban, memiliki nilai persatuan dan kesatuan, serta gotong royong, sebagaimana yang dikemukakan Dr. Lian Kian.
Sejalan dengan yang dikemukakan Romo Benny Susetyo dan Dr. Lian Kian, maka yang perlu kita teladani dari sikap baik pahlawan adalah mengabdi pada kemanusiaan, membela yang lemah, tertindas dan membela hak yang dirampas, menggerakkan nilai-nilai Pancasila untuk roda ekonomi dan menumbuhkan harapan untuk mengembangkan potensi lokal, memiliki integritas, berkeadilan serta berpihak pada masyarakat. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak individu dengan mental dan sikap pahlawan, untuk menggelorakan kepahlawanan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, masyarakat, bangsa dan Negara. Menjadi pahlawan dimasa kini adalah menunjukkan keberanian untuk mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pengorbanan kita adalah mengikis sifat dan sikap mementingkan diri sendiri, menolak politik identitas, primodialisme, intoleransi, serta radikalisme, agar kita tidak berujung pada medan peperangan antar sesama anak bangsa. Dalam pendekatan praktis, kita semua dapat menjadi pahlawan dengan menunjukkan keteladanan dalam membayar pajak, mencegah korupsi, mengatasi masalah sampah dan tidak merusak lingkungan, toleran dan hidup rukun dengan siapa saja, beretika dan menjunjung tinggi moral, tidak menyalahgunakan narkoba, bergotong-royong, bersikap adil serta tidak diskriminatif. Semua itu adalah wujud aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitan itu, hubungan kepahlawanan masa kini tidak boleh dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan dan menguatkan Pancasila semata. Justru Pancasila – hasil dari penggalian jiwa, kepribadian, dan sifat dasar manusia Indonesia – yang telah lebih dulu menjadi “pahlawan” bagi berdirinya bangsa Indonesia dan tetap kuat hingga saat ini. Pancasila sebagai dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpatri dalam diri setiap pahlawan merupakan hal yang sudah seharusnya ditiru dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Butuh keberanian untuk melakukannya, selayaknya pahlawan yang telah berjuang membebaskan Indonesia dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Kepahlawanan kita dimasa kini adalah meneladani dan mengaktualkan kembali jatidiri dan pandangan hidup bangsa yang Berketuhanan, Berkemanusiaan, Bersatu, Bermusyawarah Mufakat, dan Berkeadilan. Selamat Hari Pahlawan. Selamat menjadi Pahlawan bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Salam Pancasila. []
*) Sekretaris Daerah Kota Bitung