29.4 C
Manado
Tuesday, 30 May 2023

MENCETAK UANG ITU GAMPANG

Oleh: Muthoharul Janan, Pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Utara

UANG merupakan alat tukar menukar yang mengatasi keterbatasan sistem barter (tukar menukar) barang. Uang termasuk produk budaya tertua manusia, banyak ahli berpendapat bahwa sistem barter hanya sekedar teori yang menjelaskan transaksi dan bukan teori yang menjelaskan apa yang benar-benar terjadi pada masa itu. Bahkan salah satu antropolog terkemuka, David Graeber, menyatakan bahwa tidak ada bukti yang menguatkan keberadaan barter. Sejak awal mula kebudayaan, transaksi telah menggunakan uang. (Graeber, David (2011). Debt: The First 5,000 Years. Brooklyn, NY: Melville House Printing).

Perkembangan Uang

Untuk transaksi non barter, alat tukar dapat dibagi menjadi dua yaitu uang komoditas dan uang fiat. Secara sederhana uang komoditas adalah alat tukar pembayaran yang berupa komoditas barang tertentu (emas, perak, tembaga, dan sebagainya). Bisa dikatakan uang komoditas adalah alat pembayaran yang sifatnya berupa barang atau komoditas berharga, sementara uang fiat adalah mata uang yang umum dipakai sebagai alat pembayaran modern saat ini misalnya Rupiah, Dollar Amerika, Poundsterling dan sebagainya.

1491945 Adx_ManadoPost_InPage_Mobile

Berbicara tentang uang komoditas, tentunya tidak terlepas dari emas. Di awal dunia modern, emas sempat dijadikan sebagai basis keuangan. Karena tidak bersifat portable, maka emas disimpan di lembaga perbankan. Setiap transaksi dilakukan hanya menggunakan kertas yang disebut klaim cek. Di dalam sistem ini klaim cek merupakan bukti hak klaim pemegang terhadap emas yang disimpan di bank. Klaim cek tersebut yang pada akhirnya bertransformasi menjadi uang komoditas.

Yang patut dicatat dalam perkembangan uang komoditas adalah diberlakukannya Bretton Woods System yang merupakan produk kerjasama Amerika Serikat dan 44 negara sekutu yang salah satu kesepakatannya adalah menggantikan cadangan emas suatu negara dengan Dollar Amerika sedangkan Amerika Serikat akan menopang sirkulasinya melalui cadangan emas yang dimiliki.

Sistem ini berakhir saat Amerika menghadapi perang Vietnam, Amerika mengabaikan komitmen dengan mencetak Dollar Amerika melebihi kapasitas emasnya untuk membiayai perang. Ketidakpercayaan atas dollar Amerika merebak, terjadi penukaran dollar Amerika secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa hingga akhirnya secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1976, yang isinya antara lain, Dollar Amerika tidak lagi dijamin dengan emas. Pada titik ini, berubahlah sistem uang komoditas menjadi uang fiat.

Uang Fiat

Terputusnya hubungan antara uang fiat (untuk mempermudah, selanjutnya disebut uang) dengan emas membebaskan otoritas untuk mencetak uang sesuai dengan keinginan. Dengan demikian, uangpun menjadi tunduk dengan mekanisme pasar, semakin banyak barang semakin turun nilainya. Karena uang selalu dicetak, tentu saja jumlah uang beredar semakin banyak dan berakibat daya belinya menjadi turun.

Otoritas memang wajib mencetak uang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun kadang pencetakan uang itu dilakukan untuk tujuan lain misalnya untuk menanggulangi krisis ekonomi. Tindakan ini dapat berupa Quantitative Easing, Bail Out atau Stimulus Program. Quantitative Easing merupakan kebijakan moneter nonkonvensional yang membuat bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar dengan cara membeli aset keuangan dari institusi swasta atau bank komersial maupun surat berharga jangka panjang milik pemerintah di pasar terbuka. Kebijakan ini diterapkan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan pinjaman atau kredit. Bailout adalah pemberian bantuan keuangan ke perusahaan yang jika tidak dibantu akan mengalami kebangkrutan atau kegagalan, biasanya bantuan ini diberikan kepada perusahaan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak ataupun mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan suatu negara sedangkan Stimulus Program adalah pemberian rangsangan kepada masyarakat melalui program-program untuk mempercepat dan memulihkan ekonomi.

Baca Juga:  90 Sekolah di Bolsel ‘Keciprat’ Dana BOS, Totalnya Puluhan Miliar

Quantitative Easing, Bail Out atau Stimulus Program bisa jadi merupakan solusi untuk memulihkan kondisi ekonomi namun tidak jarang malah menjadi bumerang yang memperparah tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang kemudian memicu krisis ekonomi yang lebih parah lagi.

Bagaimana dengan Indonesia?

“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah…”

Petikan pidato yang disampaikan oleh Mohammad Hatta pada tanggal 29 Oktober 1946 di atas menandai beredarnya Oeang Republik Indonesia (ORI) yang kemudian hari berubah menjadi Rupiah. Oleh sebab itu tanggal 30 Oktober saat ini dirayakan sebagai “Hari Oeang Republik Indonesia”.

Sejak saat itu Indonesia memiliki mata uang sendiri yang berperan penting dalam peristiwa-peristiwa besar ekonomi, politik dan sosial. Pada kesempatan ini, penulis akan menukilkan peristiwa terburuk dalam sejarah uang di Indonesia yaitu krisis ekonomi tahun 1961-1965, krisis ini jauh lebih buruk daripada krisis ekonomi tahun 1998 atau krisis ekonomi akibat pandemi yang kita alami saat ini, bahkan lebih buruk dibandingkan semua krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia apabila digabung menjadi satu.

Pada saat itupolitik dan keamanan Indonesia belum stabil, beberapa ancaman disintegrasi muncul di daerah-daerah seperti Permesta di Sulawesi Utara, RMS di Maluku dan DI/TII di Jawa Barat, perang dengan Belanda memperebutkan Irian Barat (operasi Trikora) dan perang dengan Malaysia (Operasi Dwikora). Untuk menghadapi ancaman tersebut, diperlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan dua operasi yang disebutkan belakang betul-betul menggerus keuangan negara. Pengeluaran pemerintah pada kurun itu didominasi oleh sektor pertahanan. Lebih dari 40% anggaran digunakan untuk belanja militer, sehingga tidak heran Indonesia menjadi negara terkuat di belahan bumi selatan.

Namun dibalik kemajuan di bidang militer, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Terkucilnya Indonesia dari pergaulan internasional karena keputusan politik keluar dari PBB, harga pasar dunia atas komoditas ekspor andalan Indonesia yang anjlok dan embargo terhadap Malaysia (terkait operasi Dwikora) sebagai pasar terbesar bagi ekspor komoditas Indonesia berupa karet dan timah menyebabkan pemasukan negara dari ekspor tidak dapat lagi diandalkan. Sementara dalam kondisi perekonomian yang buruk, keuangan negara masih tersedot untuk proyek-proyek prestisius di pulau Jawa. Proyek tersebut memang mengangkat harkat dan martabat bangsa namun miskin manfaat bagi kesejahteraan warga negara.

Kondisi anggaran negara yang defisit, nyaris tanpa pemasukan, infrastruktur yang memprihatinkan   dan fasilitas penunjang ekonomi yang berpusat di pulau Jawa berbanding terbalik dengan ledakan demografi menyebabkan Indonesia tidak mempunyai ruang gerak ekonomi sama sekali. Pemerintah akhirnya kehabisan langkah untuk menutupi defisit anggarannya, sehingga berujung pada pengambilan kebijakan yang akan menjadi mimpi buruk sepanjang sejarah Indonesia.

“Bagaimanapun, Pemerintah harus berjalan, The show must go on, defisit harus dibiayai. Cara yang paling mudah (dan satu-satunya yang terbuka pada waktu itu) adalah meminjam dari bank sentral (BI) yang memenuhinya dengan mencetak uang.” (Boediono, Prof. Dr., 2016, Ekonomi Indonesia: dalam lintasan sejarah, Penyunting: Esti A. Budihabsari, Bandung: Mizan Media Utama). Sejatinya bank sentral memiliki independensi untuk mengatur kebijakan moneter, namun sejak tahun 1957 pemerintah mengeluarkan peraturan yang menghilangkan kewenangan tersebut sehingga otomatis Bank Indonesia berada di bawah kebijakan pemerintah. Uang dicetak tanpa kontrol sehingga semakin banyak uang beredar di masyarakat. Uang kehilangan daya belinya, tercatat harga bahan pokok mengalami kenaikan hampir 260 kali lipat dan inflasi menembus sampai 594 % pada tahun 1965.

Baca Juga:  BI Rilis Uang Edisi 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Segala upaya dilakukan pemerintah seperti kebijakan pengaturan harga, penukaran tabungan dengan surat utang negara, redenominasi sampai pemotongan uang (sanering) tetap tidak mampu untuk membalikkan kondisi. Boediono menyebut bahwa semua tindakan pemerintah saat itu tidak ada artinya karena tidak mengobati penyakit utamanya yaitu defisit anggaran karena alokasi yang tidak tepat sasaran (Boediono, Prof. Dr., 2016, Ibid).

Setelah era demokrasi terpimpin, krisis mulai dapat dikendalikan. Pemerintah berhenti mencetak uang sehingga, sesuai dengan mekanisme pasar semakin sedikit barang beredar maka nilainya akan naik, harga-harga mulai terkendali. Bergabungnya kembali Indonesia di pergaulan internasional juga menarik banyak investasi asing serta bantuan-bantuan luar negeri, belum lagi dengan adanya kenaikan harga minyak akibat krisis di timur tengah pada tahun 70-an merupakan booster pemulihan ekonomi Indonesia yang saat itu merupakan pengekspor minyak.

Mencetak Uang Itu Gampang

Dalam kondisi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja saat ini, muncul alternatif agar Bank Indonesia melakukan pencetakan uang besar-besaran. Hal ini akan membantu menanggulangi dampak pandemi dan mendorong pelaku usaha untuk tetap bertahan mengingat investasi dan pinjaman dari luar negeri sangat terbatas. Meskipun disadari bahwa kebijakan ini akan berdampak negatif terhadap inflasi dan indikator ekonomi lainnya, namun berangkat dari kasus Amerika yang juga melakukan pencetakan uang besar-besaran (Quantitive easing) dan mampu mengendalikan dampak negatifnya, diyakini pula Indonesia akan mampu melakukan hal yang sama.

Yang perlu diingat bahwa Rupiah berbeda dengan Dollar Amerika. Berkat Dekrit Presiden Nixon terkait berakhirnya rezim uang komoditas, Dollar Amerika disepakati sebagai cadangan devisa bagi semua negara. Ini mengindikasikan bahwa penambahan dollar beredar akan diserap oleh pasar dan tidak akan menimbulkan riak negatif bagi inflasi Amerika, pun demikian Amerika tetap berhati-hati dalam kebijakan quantitive easing nya dengan mengutamakan pembelian kembali surat berharga negara di pasar sekunder sebelum menggelontorkan uang baru dalam bentuk program-program.

Kebijakan yang diambil Indonesia untuk membiayai penanggulangan krisis adalah dengan mengoptimalkan dana yang berasal dari dari silpa (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran: selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode anggaran), endowment fund (Dana Abadi), pinjaman ADB dan World Bank dan dana berasal dari penerbitan surat berharga negara di pasar keuangan, sedangkan   pencetakan uang dengan cara  quantitive easing yang dilakukan BI, melalui pembelian surat utang negara di pasar primer,  merupakan opsi pembiayaan terakhir setelah dana-dana tersebut tidak mencukupi.

Mencetak uang memang gampang, namun melakukannya dengan prudent dan bijaksanalah yang akan menghindarkan kita mengulangi krisis ekonomi 1961-1965. Selamat hari uang.(*)

Oleh: Muthoharul Janan, Pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Utara

UANG merupakan alat tukar menukar yang mengatasi keterbatasan sistem barter (tukar menukar) barang. Uang termasuk produk budaya tertua manusia, banyak ahli berpendapat bahwa sistem barter hanya sekedar teori yang menjelaskan transaksi dan bukan teori yang menjelaskan apa yang benar-benar terjadi pada masa itu. Bahkan salah satu antropolog terkemuka, David Graeber, menyatakan bahwa tidak ada bukti yang menguatkan keberadaan barter. Sejak awal mula kebudayaan, transaksi telah menggunakan uang. (Graeber, David (2011). Debt: The First 5,000 Years. Brooklyn, NY: Melville House Printing).

Perkembangan Uang

Untuk transaksi non barter, alat tukar dapat dibagi menjadi dua yaitu uang komoditas dan uang fiat. Secara sederhana uang komoditas adalah alat tukar pembayaran yang berupa komoditas barang tertentu (emas, perak, tembaga, dan sebagainya). Bisa dikatakan uang komoditas adalah alat pembayaran yang sifatnya berupa barang atau komoditas berharga, sementara uang fiat adalah mata uang yang umum dipakai sebagai alat pembayaran modern saat ini misalnya Rupiah, Dollar Amerika, Poundsterling dan sebagainya.

Berbicara tentang uang komoditas, tentunya tidak terlepas dari emas. Di awal dunia modern, emas sempat dijadikan sebagai basis keuangan. Karena tidak bersifat portable, maka emas disimpan di lembaga perbankan. Setiap transaksi dilakukan hanya menggunakan kertas yang disebut klaim cek. Di dalam sistem ini klaim cek merupakan bukti hak klaim pemegang terhadap emas yang disimpan di bank. Klaim cek tersebut yang pada akhirnya bertransformasi menjadi uang komoditas.

Yang patut dicatat dalam perkembangan uang komoditas adalah diberlakukannya Bretton Woods System yang merupakan produk kerjasama Amerika Serikat dan 44 negara sekutu yang salah satu kesepakatannya adalah menggantikan cadangan emas suatu negara dengan Dollar Amerika sedangkan Amerika Serikat akan menopang sirkulasinya melalui cadangan emas yang dimiliki.

Sistem ini berakhir saat Amerika menghadapi perang Vietnam, Amerika mengabaikan komitmen dengan mencetak Dollar Amerika melebihi kapasitas emasnya untuk membiayai perang. Ketidakpercayaan atas dollar Amerika merebak, terjadi penukaran dollar Amerika secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa hingga akhirnya secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1976, yang isinya antara lain, Dollar Amerika tidak lagi dijamin dengan emas. Pada titik ini, berubahlah sistem uang komoditas menjadi uang fiat.

Uang Fiat

Terputusnya hubungan antara uang fiat (untuk mempermudah, selanjutnya disebut uang) dengan emas membebaskan otoritas untuk mencetak uang sesuai dengan keinginan. Dengan demikian, uangpun menjadi tunduk dengan mekanisme pasar, semakin banyak barang semakin turun nilainya. Karena uang selalu dicetak, tentu saja jumlah uang beredar semakin banyak dan berakibat daya belinya menjadi turun.

Otoritas memang wajib mencetak uang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun kadang pencetakan uang itu dilakukan untuk tujuan lain misalnya untuk menanggulangi krisis ekonomi. Tindakan ini dapat berupa Quantitative Easing, Bail Out atau Stimulus Program. Quantitative Easing merupakan kebijakan moneter nonkonvensional yang membuat bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar dengan cara membeli aset keuangan dari institusi swasta atau bank komersial maupun surat berharga jangka panjang milik pemerintah di pasar terbuka. Kebijakan ini diterapkan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan pinjaman atau kredit. Bailout adalah pemberian bantuan keuangan ke perusahaan yang jika tidak dibantu akan mengalami kebangkrutan atau kegagalan, biasanya bantuan ini diberikan kepada perusahaan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak ataupun mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan suatu negara sedangkan Stimulus Program adalah pemberian rangsangan kepada masyarakat melalui program-program untuk mempercepat dan memulihkan ekonomi.

Baca Juga:  Pemkot Manado Komit Selesaikan Debt Swap Melalui Peningkatan Infrastruktur

Quantitative Easing, Bail Out atau Stimulus Program bisa jadi merupakan solusi untuk memulihkan kondisi ekonomi namun tidak jarang malah menjadi bumerang yang memperparah tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang kemudian memicu krisis ekonomi yang lebih parah lagi.

Bagaimana dengan Indonesia?

“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah…”

Petikan pidato yang disampaikan oleh Mohammad Hatta pada tanggal 29 Oktober 1946 di atas menandai beredarnya Oeang Republik Indonesia (ORI) yang kemudian hari berubah menjadi Rupiah. Oleh sebab itu tanggal 30 Oktober saat ini dirayakan sebagai “Hari Oeang Republik Indonesia”.

Sejak saat itu Indonesia memiliki mata uang sendiri yang berperan penting dalam peristiwa-peristiwa besar ekonomi, politik dan sosial. Pada kesempatan ini, penulis akan menukilkan peristiwa terburuk dalam sejarah uang di Indonesia yaitu krisis ekonomi tahun 1961-1965, krisis ini jauh lebih buruk daripada krisis ekonomi tahun 1998 atau krisis ekonomi akibat pandemi yang kita alami saat ini, bahkan lebih buruk dibandingkan semua krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia apabila digabung menjadi satu.

Pada saat itupolitik dan keamanan Indonesia belum stabil, beberapa ancaman disintegrasi muncul di daerah-daerah seperti Permesta di Sulawesi Utara, RMS di Maluku dan DI/TII di Jawa Barat, perang dengan Belanda memperebutkan Irian Barat (operasi Trikora) dan perang dengan Malaysia (Operasi Dwikora). Untuk menghadapi ancaman tersebut, diperlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan dua operasi yang disebutkan belakang betul-betul menggerus keuangan negara. Pengeluaran pemerintah pada kurun itu didominasi oleh sektor pertahanan. Lebih dari 40% anggaran digunakan untuk belanja militer, sehingga tidak heran Indonesia menjadi negara terkuat di belahan bumi selatan.

Namun dibalik kemajuan di bidang militer, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Terkucilnya Indonesia dari pergaulan internasional karena keputusan politik keluar dari PBB, harga pasar dunia atas komoditas ekspor andalan Indonesia yang anjlok dan embargo terhadap Malaysia (terkait operasi Dwikora) sebagai pasar terbesar bagi ekspor komoditas Indonesia berupa karet dan timah menyebabkan pemasukan negara dari ekspor tidak dapat lagi diandalkan. Sementara dalam kondisi perekonomian yang buruk, keuangan negara masih tersedot untuk proyek-proyek prestisius di pulau Jawa. Proyek tersebut memang mengangkat harkat dan martabat bangsa namun miskin manfaat bagi kesejahteraan warga negara.

Kondisi anggaran negara yang defisit, nyaris tanpa pemasukan, infrastruktur yang memprihatinkan   dan fasilitas penunjang ekonomi yang berpusat di pulau Jawa berbanding terbalik dengan ledakan demografi menyebabkan Indonesia tidak mempunyai ruang gerak ekonomi sama sekali. Pemerintah akhirnya kehabisan langkah untuk menutupi defisit anggarannya, sehingga berujung pada pengambilan kebijakan yang akan menjadi mimpi buruk sepanjang sejarah Indonesia.

“Bagaimanapun, Pemerintah harus berjalan, The show must go on, defisit harus dibiayai. Cara yang paling mudah (dan satu-satunya yang terbuka pada waktu itu) adalah meminjam dari bank sentral (BI) yang memenuhinya dengan mencetak uang.” (Boediono, Prof. Dr., 2016, Ekonomi Indonesia: dalam lintasan sejarah, Penyunting: Esti A. Budihabsari, Bandung: Mizan Media Utama). Sejatinya bank sentral memiliki independensi untuk mengatur kebijakan moneter, namun sejak tahun 1957 pemerintah mengeluarkan peraturan yang menghilangkan kewenangan tersebut sehingga otomatis Bank Indonesia berada di bawah kebijakan pemerintah. Uang dicetak tanpa kontrol sehingga semakin banyak uang beredar di masyarakat. Uang kehilangan daya belinya, tercatat harga bahan pokok mengalami kenaikan hampir 260 kali lipat dan inflasi menembus sampai 594 % pada tahun 1965.

Baca Juga:  Penerapan Level Pandemi Pengaruhi Kondisi Ekonomi Sulut

Segala upaya dilakukan pemerintah seperti kebijakan pengaturan harga, penukaran tabungan dengan surat utang negara, redenominasi sampai pemotongan uang (sanering) tetap tidak mampu untuk membalikkan kondisi. Boediono menyebut bahwa semua tindakan pemerintah saat itu tidak ada artinya karena tidak mengobati penyakit utamanya yaitu defisit anggaran karena alokasi yang tidak tepat sasaran (Boediono, Prof. Dr., 2016, Ibid).

Setelah era demokrasi terpimpin, krisis mulai dapat dikendalikan. Pemerintah berhenti mencetak uang sehingga, sesuai dengan mekanisme pasar semakin sedikit barang beredar maka nilainya akan naik, harga-harga mulai terkendali. Bergabungnya kembali Indonesia di pergaulan internasional juga menarik banyak investasi asing serta bantuan-bantuan luar negeri, belum lagi dengan adanya kenaikan harga minyak akibat krisis di timur tengah pada tahun 70-an merupakan booster pemulihan ekonomi Indonesia yang saat itu merupakan pengekspor minyak.

Mencetak Uang Itu Gampang

Dalam kondisi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja saat ini, muncul alternatif agar Bank Indonesia melakukan pencetakan uang besar-besaran. Hal ini akan membantu menanggulangi dampak pandemi dan mendorong pelaku usaha untuk tetap bertahan mengingat investasi dan pinjaman dari luar negeri sangat terbatas. Meskipun disadari bahwa kebijakan ini akan berdampak negatif terhadap inflasi dan indikator ekonomi lainnya, namun berangkat dari kasus Amerika yang juga melakukan pencetakan uang besar-besaran (Quantitive easing) dan mampu mengendalikan dampak negatifnya, diyakini pula Indonesia akan mampu melakukan hal yang sama.

Yang perlu diingat bahwa Rupiah berbeda dengan Dollar Amerika. Berkat Dekrit Presiden Nixon terkait berakhirnya rezim uang komoditas, Dollar Amerika disepakati sebagai cadangan devisa bagi semua negara. Ini mengindikasikan bahwa penambahan dollar beredar akan diserap oleh pasar dan tidak akan menimbulkan riak negatif bagi inflasi Amerika, pun demikian Amerika tetap berhati-hati dalam kebijakan quantitive easing nya dengan mengutamakan pembelian kembali surat berharga negara di pasar sekunder sebelum menggelontorkan uang baru dalam bentuk program-program.

Kebijakan yang diambil Indonesia untuk membiayai penanggulangan krisis adalah dengan mengoptimalkan dana yang berasal dari dari silpa (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran: selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode anggaran), endowment fund (Dana Abadi), pinjaman ADB dan World Bank dan dana berasal dari penerbitan surat berharga negara di pasar keuangan, sedangkan   pencetakan uang dengan cara  quantitive easing yang dilakukan BI, melalui pembelian surat utang negara di pasar primer,  merupakan opsi pembiayaan terakhir setelah dana-dana tersebut tidak mencukupi.

Mencetak uang memang gampang, namun melakukannya dengan prudent dan bijaksanalah yang akan menghindarkan kita mengulangi krisis ekonomi 1961-1965. Selamat hari uang.(*)

Most Read

Artikel Terbaru