28.4 C
Manado
Tuesday, 28 March 2023

Journey to the North

KEMIRIPAN judul ini dengan judul dua novel klasik: Journey to the West dan Journey to the Centre of the Earth, tak bisa disangkal. Judul pertama merujuk pada karya klasik Tionghoa abad ke-16 yang termasuk dalam kelompok Empat Novel nan Klasik. Karya ini diatributkan kepada Wu Cheng’en, seorang novelis dan penyair di era Dinasti Ming. Walau merujuk pada peziarahan historis seorang pendeta Buddha abad ke-7, Xuanzang, karya ini setia mengakar pada filsafat Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme, serta cerita rakyat Tionghoa.

Judul kedua merujuk pada novel fiksi ilmiah karya Jules Verne (1828-1905), seorang novelis dan penyair Prancis. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1864. Alur ceritanya menghiliri petualangan seorang ilmuwan eksentrik dan kemenakannya, serta seorang pemandu, mulai dari kawah stratovolcano Snæfellsjökull sampai termuntahkan dari kawah Stromboli, sebuah gunung api di Italia Selatan.

Journey to the North merekam refleksi perjalanan perdana penulis ke tanah Malahasa dan sekitarnya. Sebagai perjalanan perdana, ketidaktahuan membenam benak penulis. Pada saat yang sama, ia justru menyalakan keingintahuan yang mewujud dalam bentuk desakan. Namun, keputusan untuk memulai langkah sambil berangkat dari ketidaktahuan tidak datang hanya dalam sejenak.

Ilusi optik

1491945 Adx_ManadoPost_InPage_Mobile

Pembentukan keputusan untuk bergabung dalam petualangan ini berlangsung panjang bagi penulis. Hambatan pertama sangatlah jelas, yaitu lautan nan luas dan segala kemungkinannya. Hambatan ini secara langsung menguak kalut psikologis penulis ketika berhadapan dengan lautan, yang hadir bak gugusan kemungkinan melampaui keterampilan dan prediksinya.

Salah seorang rekan menghadirkan beberapa pertimbangan logis yang dengan nyaman dilahap nalar penulis. Namun, benak ini belum teduh akibat banyaknya pertimbangan dan tanya yang bergelantungan pada kemungkinan dan prediksi yang jauh dari presisi. Rekan yang sama akhirnya menghadirkan satu pertimbangan yang melampaui kontinjensi, yakni bahwa perjalanan ini mengabdi pada satu misi. Memang pencapaian target perjalanan ini tidak langsung berdampak besar. Namun, nalar penulis melihatnya bak riak kecil yang mengawali besarnya gelombang.

Keputusan akhirnya bulat, walau bukan tanpa ragu. Ketika malam menelan hari, tibalah tiga rekanan di atas sebuah kapal, Mercy Teratai, sebuah instrumen yang diyakini akan membawa semua penumpang ke tujuannya. Tepat seperti rencana waktu keberangkatan, kapal ini melepaskan tali tambatnya dari dermaga. Journey to the North dimulai!

Percakapan ringan antara penulis dan dua rekannya mengiringi gerak awal kapal melepaskan diri dari tambatannya. Tak berapa lama, diskusi ringan ini terinterupsi oleh ajakan untuk membuka ruang bagi Yang Transenden. Doa menggema seantero kapal. Semua tertunduk dalam keheningan. Ternyata, ruang kontinjensi ini akhirnya penuh terisi oleh lompatan keyakinan akan penyelenggaraanNya.

Baca Juga:  Merawat Sumpah (Pemuda)

Perlahan penulis mulai menyadari sesuatu. Kegelapan malam telah membantunya. Ia telah menghadirkan ilusi optik yang mencegah hadirnya keluasan lautan. Padahal, penulis telah membayangkan keluasan itu menyembunyikan ketakberhinggaan di balik demarkasi yang dihadirkan oleh cakrawala.

Selain ilusi optik tersebut, alam mengakrabkan dirinya dengan penulis sambil menampakkan sisi lembutnya. Lautan malam itu hanya menghadirkan riak kecil sehingga sang Mercy Teratai meluncur dalam ketenangan. Penulis akhirnya mengakhiri malam itu dengan tidur yang cukup lelap yang hanya mengizinkan satu dua interupsi alam sadar.

Malahasa

Fajar belum sempat merekah ketika kapal ditambatkan ke dermaga. Seorang penjemput yang cekatan menghantar kami ke sebuah hotel yang telah dipesan. Istirahat yang cukup membuat kami merasa sigap untuk langsung memulai hari. Dengan sedikit persiapan, misi segera dimulai dengan berjalan kaki menyusuri pusat kota. Kegiatan ini memadukan bina fisik dan inisiasi ke dalam misi.

Dari jalan nasional, kami memasuki boulevard. Sebelum langkah menjejaki boulevard, salah satu rekan mengarahkan mata penulis pada sebuah tugu tua. Tugu ini berbentuk pentagon dan rupanya dulunya berfungsi sebagai mercusuar. Lukisan dengan motif khas dan urutan proses bisnis kopra mengitari tugu tersebut. Rekan yang sama menerangkan kekokohan perekonomian tanah ini akibat perdagangan kopra. Fungsi mercusuar yang memang jelas kelihatan semakin ditegaskan oleh cerita sang rekan tentang keberadaan pelabuhan tua beberapa meter dari tugu tersebut.

Pandangan penulis tertumbuk pada tulisan di salah satu sisi pentagon ini. Tulisan itu terletak tepat di atas sebuah gambar. Bunyinya “Projek Partisipasi Pedagang Kopra”. Refleksi penulis langsung mengembara dalam kekaguman. Tugu ini bukan hanya monumen yang menegaskan kejayaan tempo dulu atau mercusuar sebagai sinar isyarat pada waktu malam untuk memandu navigasi. Ia ternyata juga mematri peran lugas pemangku kepentingan atau masyarakat selain pemerintah dalam pembangunan daerah. Dari tugu inilah, kosa kata penulis bertambah dengan masuknya Malahasa sebagai entri baru. Demikian, nama monumen itu.

Bagang

Perjalanan menyusuri boulevard berlanjut. Ujungnya telah memasuki jangkauan penglihatan. Namun, perjalanan diinterupsi dengan kehadiran sebuah objek yang berbentuk rumah kecil dan diletakkan di sisi boulevard. Rumah kecil yang terbuat dari kayu itu menyatu dengan sebuah landasan berukuran sekitar 3×5 meter dengan tinggi sekitar 1 meter.

Landasan tersebut menyimpan di dalamnya styrofoam yang memenuhi ruang kosong di dalam landasan itu. Pada sisi kiri dan kanan rumah kecil itu ditambatkan lampu. Rupanya, sentuhan teknologi modern telah mengarakterisasinya. Sumber penerangan tersebut berhulu pada energi terbarukan, yakni energi surya, melalui sebuah panel matahari.

Baca Juga:  Anggur Lama dalam Bejana Baru

Sang rekan kembali hadir sebagai narasumber dengan identifikasi. Dari dia, penulis menambah lema baru, yaitu bagan atau bagang. Beliau mengelaborasinya sebagai alat penangkapan ikan yang bertopang pada teknik penangkapan ikan berbasis cahaya. Pengarungan bagang ini mencapai jangka waktu berbulan-bulan. Rumah kecil di atas landasan tersebut mengakomodasi sang nelayan. Demi kehidupannya, sang nelayan mendapat suplai selain pangan yang tersedia secara alamiah dan berlimpah di lautan.

Kembali benak berkecamuk dengan refleksi. Pagelaran teknik penangkapan ikan ini mengabdi pada tuntutan keberlanjutan alam. Namun, tanya tetap menyeruak. Seberapa dalam daya lentingnya terhadap gerusan teknologi berbasis eksploitasi, tuntutan persaingan bisnis, serta rumus abadi ekonomi untung-rugi.

Nalar kemudian merambah eksistensi sang nelayan. Terapung di lautan lepas dan menghabiskan hari dalam kesendirian mencirikan kehidupannya. Berkanjang dalam kesendirian di tengah luasnya lautan mengasumsikan kesabaran dan daya sintas luar biasa. Dengan tren kesegeraan/instanisme dan komunikasi berkelanjutan menguasai gaya hidup kontemporer, sang nelayan tentunya meragai roh pribadi unggul atau bahkan menjadi primus inter pares, di satu sisi. Di sisi yang lain, ia menjadi alien di antara individu-individu “biasa”.

Sagu

Perjalanan menyusuri boulevard berakhir di ujung yang berlawanan, yakni di sebuah pasar tradisional yang ramai. Sambil menyiapkan kebutuhan pembuka konsumsi harian, sari jeruk nipis dan air hangat, ketiga rekanan berbaur dengan irama khas pasar tradisional. Dari para pedagang, kami pun sadar akan kehadiran dampak sang pandemi terhadap rutinitas pasar tersebut.

Perbincangan tersebut berlangsung sejajar dengan proses menanti panggangan sagu di sebuah wajan kecil dan ikan yang sedang dibakar oleh seorang pedagang senior. Senyum dan tanya ringan menjadi senjata sang “oma” untuk menggerus kekakuan. Demikian, suasana hangat dan akrab cepat terbina. Kehadiran kami di pasar ini menjadi tak ternilai karena ternyata ia membukakan pintu bagi kami untuk mengidentifikasi modal sosial di tanah Malahasa.

Epilog

Bina fisik dan tempa nalar di pagi hari yang senantiasa berakhir dengan mengakrabi modal sosial masyarakat di pasar tradisional tersebut akhirnya menjadi rutinitas kami selama beberapa hari. Kegiatan ini ternyata menjadi hulu kami untuk melaksanakan misi secara tuntas sampai sang malam menelan hari. Terima kasih, NT dan CW.(*)

KEMIRIPAN judul ini dengan judul dua novel klasik: Journey to the West dan Journey to the Centre of the Earth, tak bisa disangkal. Judul pertama merujuk pada karya klasik Tionghoa abad ke-16 yang termasuk dalam kelompok Empat Novel nan Klasik. Karya ini diatributkan kepada Wu Cheng’en, seorang novelis dan penyair di era Dinasti Ming. Walau merujuk pada peziarahan historis seorang pendeta Buddha abad ke-7, Xuanzang, karya ini setia mengakar pada filsafat Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme, serta cerita rakyat Tionghoa.

Judul kedua merujuk pada novel fiksi ilmiah karya Jules Verne (1828-1905), seorang novelis dan penyair Prancis. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1864. Alur ceritanya menghiliri petualangan seorang ilmuwan eksentrik dan kemenakannya, serta seorang pemandu, mulai dari kawah stratovolcano Snæfellsjökull sampai termuntahkan dari kawah Stromboli, sebuah gunung api di Italia Selatan.

Journey to the North merekam refleksi perjalanan perdana penulis ke tanah Malahasa dan sekitarnya. Sebagai perjalanan perdana, ketidaktahuan membenam benak penulis. Pada saat yang sama, ia justru menyalakan keingintahuan yang mewujud dalam bentuk desakan. Namun, keputusan untuk memulai langkah sambil berangkat dari ketidaktahuan tidak datang hanya dalam sejenak.

Ilusi optik

Pembentukan keputusan untuk bergabung dalam petualangan ini berlangsung panjang bagi penulis. Hambatan pertama sangatlah jelas, yaitu lautan nan luas dan segala kemungkinannya. Hambatan ini secara langsung menguak kalut psikologis penulis ketika berhadapan dengan lautan, yang hadir bak gugusan kemungkinan melampaui keterampilan dan prediksinya.

Salah seorang rekan menghadirkan beberapa pertimbangan logis yang dengan nyaman dilahap nalar penulis. Namun, benak ini belum teduh akibat banyaknya pertimbangan dan tanya yang bergelantungan pada kemungkinan dan prediksi yang jauh dari presisi. Rekan yang sama akhirnya menghadirkan satu pertimbangan yang melampaui kontinjensi, yakni bahwa perjalanan ini mengabdi pada satu misi. Memang pencapaian target perjalanan ini tidak langsung berdampak besar. Namun, nalar penulis melihatnya bak riak kecil yang mengawali besarnya gelombang.

Keputusan akhirnya bulat, walau bukan tanpa ragu. Ketika malam menelan hari, tibalah tiga rekanan di atas sebuah kapal, Mercy Teratai, sebuah instrumen yang diyakini akan membawa semua penumpang ke tujuannya. Tepat seperti rencana waktu keberangkatan, kapal ini melepaskan tali tambatnya dari dermaga. Journey to the North dimulai!

Percakapan ringan antara penulis dan dua rekannya mengiringi gerak awal kapal melepaskan diri dari tambatannya. Tak berapa lama, diskusi ringan ini terinterupsi oleh ajakan untuk membuka ruang bagi Yang Transenden. Doa menggema seantero kapal. Semua tertunduk dalam keheningan. Ternyata, ruang kontinjensi ini akhirnya penuh terisi oleh lompatan keyakinan akan penyelenggaraanNya.

Baca Juga:  Adieu, Professeur!

Perlahan penulis mulai menyadari sesuatu. Kegelapan malam telah membantunya. Ia telah menghadirkan ilusi optik yang mencegah hadirnya keluasan lautan. Padahal, penulis telah membayangkan keluasan itu menyembunyikan ketakberhinggaan di balik demarkasi yang dihadirkan oleh cakrawala.

Selain ilusi optik tersebut, alam mengakrabkan dirinya dengan penulis sambil menampakkan sisi lembutnya. Lautan malam itu hanya menghadirkan riak kecil sehingga sang Mercy Teratai meluncur dalam ketenangan. Penulis akhirnya mengakhiri malam itu dengan tidur yang cukup lelap yang hanya mengizinkan satu dua interupsi alam sadar.

Malahasa

Fajar belum sempat merekah ketika kapal ditambatkan ke dermaga. Seorang penjemput yang cekatan menghantar kami ke sebuah hotel yang telah dipesan. Istirahat yang cukup membuat kami merasa sigap untuk langsung memulai hari. Dengan sedikit persiapan, misi segera dimulai dengan berjalan kaki menyusuri pusat kota. Kegiatan ini memadukan bina fisik dan inisiasi ke dalam misi.

Dari jalan nasional, kami memasuki boulevard. Sebelum langkah menjejaki boulevard, salah satu rekan mengarahkan mata penulis pada sebuah tugu tua. Tugu ini berbentuk pentagon dan rupanya dulunya berfungsi sebagai mercusuar. Lukisan dengan motif khas dan urutan proses bisnis kopra mengitari tugu tersebut. Rekan yang sama menerangkan kekokohan perekonomian tanah ini akibat perdagangan kopra. Fungsi mercusuar yang memang jelas kelihatan semakin ditegaskan oleh cerita sang rekan tentang keberadaan pelabuhan tua beberapa meter dari tugu tersebut.

Pandangan penulis tertumbuk pada tulisan di salah satu sisi pentagon ini. Tulisan itu terletak tepat di atas sebuah gambar. Bunyinya “Projek Partisipasi Pedagang Kopra”. Refleksi penulis langsung mengembara dalam kekaguman. Tugu ini bukan hanya monumen yang menegaskan kejayaan tempo dulu atau mercusuar sebagai sinar isyarat pada waktu malam untuk memandu navigasi. Ia ternyata juga mematri peran lugas pemangku kepentingan atau masyarakat selain pemerintah dalam pembangunan daerah. Dari tugu inilah, kosa kata penulis bertambah dengan masuknya Malahasa sebagai entri baru. Demikian, nama monumen itu.

Bagang

Perjalanan menyusuri boulevard berlanjut. Ujungnya telah memasuki jangkauan penglihatan. Namun, perjalanan diinterupsi dengan kehadiran sebuah objek yang berbentuk rumah kecil dan diletakkan di sisi boulevard. Rumah kecil yang terbuat dari kayu itu menyatu dengan sebuah landasan berukuran sekitar 3×5 meter dengan tinggi sekitar 1 meter.

Landasan tersebut menyimpan di dalamnya styrofoam yang memenuhi ruang kosong di dalam landasan itu. Pada sisi kiri dan kanan rumah kecil itu ditambatkan lampu. Rupanya, sentuhan teknologi modern telah mengarakterisasinya. Sumber penerangan tersebut berhulu pada energi terbarukan, yakni energi surya, melalui sebuah panel matahari.

Baca Juga:  Kota Ideal

Sang rekan kembali hadir sebagai narasumber dengan identifikasi. Dari dia, penulis menambah lema baru, yaitu bagan atau bagang. Beliau mengelaborasinya sebagai alat penangkapan ikan yang bertopang pada teknik penangkapan ikan berbasis cahaya. Pengarungan bagang ini mencapai jangka waktu berbulan-bulan. Rumah kecil di atas landasan tersebut mengakomodasi sang nelayan. Demi kehidupannya, sang nelayan mendapat suplai selain pangan yang tersedia secara alamiah dan berlimpah di lautan.

Kembali benak berkecamuk dengan refleksi. Pagelaran teknik penangkapan ikan ini mengabdi pada tuntutan keberlanjutan alam. Namun, tanya tetap menyeruak. Seberapa dalam daya lentingnya terhadap gerusan teknologi berbasis eksploitasi, tuntutan persaingan bisnis, serta rumus abadi ekonomi untung-rugi.

Nalar kemudian merambah eksistensi sang nelayan. Terapung di lautan lepas dan menghabiskan hari dalam kesendirian mencirikan kehidupannya. Berkanjang dalam kesendirian di tengah luasnya lautan mengasumsikan kesabaran dan daya sintas luar biasa. Dengan tren kesegeraan/instanisme dan komunikasi berkelanjutan menguasai gaya hidup kontemporer, sang nelayan tentunya meragai roh pribadi unggul atau bahkan menjadi primus inter pares, di satu sisi. Di sisi yang lain, ia menjadi alien di antara individu-individu “biasa”.

Sagu

Perjalanan menyusuri boulevard berakhir di ujung yang berlawanan, yakni di sebuah pasar tradisional yang ramai. Sambil menyiapkan kebutuhan pembuka konsumsi harian, sari jeruk nipis dan air hangat, ketiga rekanan berbaur dengan irama khas pasar tradisional. Dari para pedagang, kami pun sadar akan kehadiran dampak sang pandemi terhadap rutinitas pasar tersebut.

Perbincangan tersebut berlangsung sejajar dengan proses menanti panggangan sagu di sebuah wajan kecil dan ikan yang sedang dibakar oleh seorang pedagang senior. Senyum dan tanya ringan menjadi senjata sang “oma” untuk menggerus kekakuan. Demikian, suasana hangat dan akrab cepat terbina. Kehadiran kami di pasar ini menjadi tak ternilai karena ternyata ia membukakan pintu bagi kami untuk mengidentifikasi modal sosial di tanah Malahasa.

Epilog

Bina fisik dan tempa nalar di pagi hari yang senantiasa berakhir dengan mengakrabi modal sosial masyarakat di pasar tradisional tersebut akhirnya menjadi rutinitas kami selama beberapa hari. Kegiatan ini ternyata menjadi hulu kami untuk melaksanakan misi secara tuntas sampai sang malam menelan hari. Terima kasih, NT dan CW.(*)

Most Read

Artikel Terbaru