MANADOPOST.ID–Keluhan terhadap pendidikan tinggi di Indonesia secara umum terus bergulir. Mulai dari bentuk pemeringkatan yang mencakup administrasi dan tata kelola sebuah perguruan tinggi sampai pada tuntutan indeks karya ilmiah dosen. Ungkapan keberatan pun beragam.
Tentang pemeringkatan, sorotan diarahkan kepada lembaga pemeringkatan dunia (QS, THE, Shanghai Rangking, Webometric). Sedangkan, menyangkut pengindeksan, tudingan menerpa Scopus yang awalnya menjadi rujukan tunggal sebelum Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 diterbitkan (Elisabeth Rukmini, Opini Kompas, 11 Mei 2018).
Dalam lampiran perundang-undangan tersebut, SCImago Journal and Country Rank bukan lagi satu-satunya penentu. Basis data internasional ternama lainnya seperti Index Copernicus International (ICI), ISI Web of Science (Thomson Reuters), dan Microsoft Academic Search, juga dirujuk.
Mendisrupsi Kemapanan
Peran lembaga pemeringkatan perguruan tinggi sebagai usaha membangun reputasi universitas kembali diulas. Kali ini, ulasan tentang lembaga-lembaga tersebut dirangkai oleh Riri Fitri Sari, Guru Besar Teknik Komputer Universitas Indonesia. Dalam tulisannya, ia berargumen bahwa eksistensi lembaga-lembaga pemeringkatan internasional yang cenderung rapuh terhadap godaan prinsip komersial perlu didisrupsi (Opini Kompas, 7 November 2019).
Kehadiran UI GreenMetric yang diprakarsai oleh Universitas Indonesia menjadi salah satu bentuk disrupsi terhadap kemapanan mereka. Institusi pemeringkatan ini mengusung ide dan semangat yang justru berbeda dengan lembaga-lembaga mainstream. UI GreenMetric mengangkat kompleksitas masalah perubahan iklim, kekurangan energi, kekurangan air, kekurangan makanan dan berbagai masalah rumit lain sehubungan dengan relasi manusia dan planet bumi.
Tak satu pun lembaga-lembaga pemeringkatan mainstream “peduli” dengan isu-isu tersebut. Apresiasi terhadap UI GreenMetric, yang didirikan pada tahun 2010, telah datang dari berbagai pihak. Namun, selain penghargaan (Irlandia, Taiwan, Kolombia, Brasil, Rusia, Kazakhstan, Lebanon, Turki, Siprus, Tunisia, Ekuador, Peru, dan Malaysia) dan disrupsi terhadap kemapanan pemeringkat internasional lain, apresiasi tinggi perlu disematkan berbasis pada perhatian serius UI GreenMetric terhadap lestarinya alam.
Demokratisasi Indeks
Eksistensi dan terjangan disruptif UI GreenMetric menguak tidur dogmatis perguruan tinggi. Tanpa sadar, kehadiran lembaga pemeringkatan dan instrumen pengideks karya ilmiah internasional mengekalkan semangat “pengikut”. Tanpa mereduksi tuntutan kualitas dan kuantitas karya ilmiah, disrupsi perlu dihadirkan terhadap kemapanan pengindeks karya ilmiah internasional.
Demokratisasi indeks demi akses menjadi salah satu cara. Tantangan tentunya menganga besar. Demokratisasi ini tentunya tidak boleh mengorbankan kualitas karya ilmiah dan jurnal. Karena itu, sebelum proses disrupsi atau demokratisasi akses indeks karya ilmiah, usaha raksasa dan bersama untuk mengangkat kualitas jurnal ilmiah nasional perlu diseriusi.
Pemerintah, melalui kementerian terkait, tidak bisa hanya menelurkan daftar jurnal terakreditasi nasional setiap tahun. Pemerintah perlu memperkaya ragam pengembangan dan pemberdayaan kualitas jurnal nasional. Usaha ini perlu target jangka “menengah”, bukan “dekat” bukan pula “jauh”. Dalam jangka waktu kurang lebih 5 tahun, pengindeksan karya ilmiah dapat didisrupsi.
Pembelajaran Berkelanjutan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, kembali menegaskan pentingnya link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara pendidikan dan kebutuhan industri. Apa kebaruan yang dibawa Makarim? Bukannya sudah sejak dekade 1980-an dan 1990-an konsep ini digaungkan?
Tajuk rencana Kompas (7 November 2019) justru mendukung posisi ini. Argumennya, justru karena selama 20 tahun belum ada perkembangan berarti di lingkungan pendidikan Indonesia dalam konteks keterkaitan dan kesepadanan ini. Alasan kedua, era Revolusi Industri 4.0 bahkan Society 5.0 atau dalam term bisnis, era disrupsi, akan menghadirkan teknologi dan model bisnis yang akan mempengaruhi secara langsung jenis pekerjaan yang tersedia.
Teknologi dan model bisnis yang dilandaskan pada platform teknologi informasi dan komunikasi yang luar biasa pesat pastinya akan menghadirkan tantangan baru. Problemnya, wajah tantangan ini masih nirwujud. Bagaimana mempersiapkan anak didik/lulusan untuk menjawab pertanyaan yang belum terkonstruksi? Bagaimana memberi solusi pada problem yang belum teridentifikasi?
Konsekuensinya, bekal pengetahuan penting namun tidak menentukan. Bekal keterampilan praktis akan membantu namun bukan segalanya. Pengetahuan dan keterampilan ini pun masih harus menjawab tuntutan pilihan mana yang terbaik atau paling cocok atau paling berguna nanti. Namun, bukannya wajah masa depan berwujud “tak-berbentuk”?
Selain pengetahuan dan keterampilan ini, pemberdayaan serius perlu diarahkan pada kompetensi anak didik/lulusan untuk menjadi pembelajar seumur hidup (lifelong learner). Berhadapan dengan wujud tak pasti dari tantangan, pekerjaan, dan profesi masa depan, kreativitas, inovasi, empati dan komunikasi mengisi ruang hakiki dari kompetensi dasar yang perlu ditumbuhkan dalam diri mereka.
Kompas Moral
Dalam sebuah konferensi internasional tentang pendidikan tinggi di era digital, yang dilaksanakan di Madrid, Spanyol, pada bulan Oktober 2018, Juan Romo, Rektor Universidad Carlos III de Madrid, menegaskan pengembangan soft skills dan penguatan moral compass. Inilah kebutuhan mahasiswa untuk menghadapi masa depan, tegasnya.
Term soft skills merangkum apa yang dikatakan oleh Makarim di atas. Namun, Romo juga mengedepankan kemampuan memutuskan berdasarkan kepekaan terhadap tuntutan moral dalam diri mahasiswa.
Demi tujuan ini, Romo memaparkan strategi universitasnya. Walau ia sendiri merupakan presiden the YERUN (Young European Research Universities Network) periode 2015-2017, Romo menjelaskan pentingnya kedudukan ilmu kemanusiaan dalam kurikulum. Ilmu-ilmu tersebut membentuk konstruksi mata kuliah inti di universitasnya.
Sebagai mata kuliah inti, setiap mahasiswa, termasuk mahasiwa ilmu-ilmu eksakta, harus mengikutinya. Semua mahasiswa di universitasnya perlu memahami pentingnya etika. Mereka perlu mengembangkan kepekaan terhadap implikasi moral dan kemampuan analisis terhadap dasar-dasar pengambilan keputusan suara hati.
Merujuk pada pemaparan Romo, Widodo Budiharto juga mengidentifikasi signifikasi life-long learning demi penguasaan soft-skills dan etika di era industri 4.0 (Opini Kompas, 8 November 2019). Berbasis pada kesadaran yang telah diungkap oleh Makarim tentang wujud tak-berbentuk dari masa depan, Budiharto membeberkan daftar pengetahuan dan soft-skills yang diperlukan mahasiswa.
Pengetahuan yang relevan di era industri 4.0 meliputi kecerdasan artifisial, bioteknologi, kemanusiaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, otomotif, serta pengetahuan manajemen dan bisnis model baru.
Mereka juga perlu mengetahui ilmu komputer tingkat lanjut, teknologi pangan, drone cerdas untuk pertanian, nanobots untuk penyembuhan penyakit, non-biological intelligence, jasa keuangan, kemampuan mengunduh pengetahuan ke otak dari cloud serta society and hybrid generation. Menurut Budiharto, inilah gambaran kemajuan kehidupan di rentang 2020-2040.
Selain itu, mahasiswa perlu mengembangkan kemampuan kewirausahaan berbasis industri 4.0 serta kemampuan berkomunikasi dan kepemimpinan. Semua pengetahuan dan soft-skills di atas perlu dikembangkan dalam semangat life-long self-learning dan critical thinking. Kesadaran yang mendalam dan kemampuan untuk menjadi pembelajar seumur hidup dan pemikir kritis perlu dikarakterisasi oleh kepekaan moral dan ketajaman analisis etis.
Epilog
Sistem pemeringkatan, indeks karya ilmiah, kriteria akreditasi perguruan tinggi, dan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) bak cermin. Inilah instrumen-instrumen tak sempurna, namun berguna, yang digunakan Indonesia.
Cermin tak perlu dibelah kalau memang buruk rupa. Pembelajar sejati menjadi panggilan setiap individu. Syaratnya mengacu pada tradisi mengevaluasi dan mengembangkan diri. Namun, cermin instrumental yang dipilih secara cerdas senantiasa terbuka pada kritik demi pengembangan yang berkelanjutan.(*)