Oleh: Ferry Daud Liando Dosen Politik Kepemiluan Unsrat SAYA tidak dalam posisi mendukung salah satu pilihan dari apa yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini. Sistim pemilu proporsional daftar terbuka yang digunakan selama ini sedang di judicial review. Sistim pemilu proporsional daftar terbuka adalah pemberian suara dengan mencoblos calon secara langsung. Sebaliknya Sistim pemilu proporsional daftar tertutup adalah pemberian suara dengan mencoblos partai politik (parpol). Siapa pemilik kursi nanti akan ditujuk oleh parpol. Saya berusaha mengindari pada salah satu pilihan karena pilihan ini sudah menjadi ranah kepentingan politik parpol. Jika harus berada pada salah satu pilihan maka akan sangat terkesan seolah-olah berpihak pada salah satu kekuatan politik. Menjaga netralitas dan independensi sangat penting bagi seorang akademisi. Namun saya sangat memaklumi jika ternyata ada pihak hendak mempersoalkan sistim yang digunakan saat ini. Agar tidak terkesan partisan, saya berusaha menggali pemikiran lain selain motif yang diajukan pihak pemohon di MK. Pihak pemohon meminta agar MK menguji sistim yang digunakan saat ini karena dianggap tidaklah konstitusional. Bagi pemohon bahwa peserta pemilu adalah partai politik (parpol), maka seharusnya yang dicoblos dalam pemilu itu adalah parpol, bukan aktor. Bagi saya, sistim proporsional daftar terbuka telah menyimpang dari prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Pemilu harusnya merupakan sarana kedaulatan rakyat. Kedaultan itu harus dimaknai bahwa rakyat berhak memiliki kebebasan tentang siapa yang harus di pilih. Tanpa harus ditekan, diintimidasi ataupun dipaksa. Asas pemilu juga menyebut bahwa pemilu itu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Namun demikian selama ini, mayoritas pemilih sesungguhnya telah kehilangan kedaulatannya pada setiap pemilu ataupun pemilihan kepala daerah. Terdapat beberapa indikasi yang bisa dijelaskan tentang kehilangan kedaulatan rakyat itu : Pertama hilangnya kedaulatan rakyat akibat terputusnya ruang komunikasi politik antara masyarakat dengan parpol baik dalam memutuskan calon untuk eksekutif maupun legislatif. Padahal UU Nomor 2 tahun 2011 tentang parpol mewajibkan proses uji publik dan transparansi parpol dalam mengusung calon. Parpol lebih mengedepankan hasil survei, kepemilikan modal atau calon yang dekat dengan elit struktur parpol. Harusnya hasil survei bisa saja merepresentasikan kepentingan publik. Namun belum semua lembaga survei tranparan soal metodologi dan sampel yang gunakan. Kedua masifnya pergerakan jual beli suara. Suara yang terbelih secara otomatis telah menghilangkan kedaulatan rakyat. Sebab sikap politik dalam memilih tidak lagi didasarkan pada kepentingan banyak orang tapi karena kepentingan jasa uang suap dari calon. Ketiga makin masifnya intimidasi oleh aparat terhadap pemilih. Program bantuan sosial (bansos) yang harusnya menjadi hak orang miskin namun kerap dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa. Fakta bahwa banyak orang miskin yang memenuhi syarat sebagai penerima tapi tidak terdaftar sebagai pihak penerima bansos, atau ada yang terdaftar tapi juga tidak bisa menerima. Hal itu terjadi karena pihak penerima hanya dikhususkan untuk pemilih yang memberikan dukungan atau akan memebrikan dukungan pada pihak penguasa politik di daerah. Bukan hanya bansos yang dipolitisasi, tapi fasilitas-fasilitas pemerintah lain dipolitisasi. Sehingga suka atau tidak suka maka pemilih harus memilih siapa calon yang ditunjuk aparat. Cara intimidasi seperti ini tentu sudah menghilangkan kedaulatan rakyat. Keempat hilangnya kedaulatan pemilih terjadi pula akibat mobilisasi terhadap pemilih yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara. Pihak ini kerap mendapat ancaman untuk ditunda kenaikan pangkat, dimutasi pada wilayah perbetasan atau pedesaan, dimutasi dari jabatan “basah” ke jabatan “kering”, diberhentikan dari jabatan struktural ataupun ancaman lain. Wajar jika setiap kali pemilu, kursi DPR/DPRD banyak dikuasai oleh kerabat penguasa politik di daerah. Kelima hilangnya kedaulatan pemilih akibat makin menguatnya politisasi Identitas. Politisasi identitas berbeda dengan politik identitas. Politisasi identitas adalah pemaksaan terhadap pemilih untuk memilih calon yang seagama atau seetnik. Jika tidak memilih berdasarkan kesamaan identitas, maka akan disebut dosa atau dikucikan dari komunitasnya. Keenam, makin minimnya referensi pemilih terhadap kontestan pemilu dan tujuan pemilu itu sendiri. Sebagai besar pemilih adalah pemilih milenial dan pemilih pedesaan. Akses informasi politik sangat rendah. Sehingga siapa yang akan dipilih sangat tergantung pada kondisi fisik dari calon. Kecenderungan pemilih milenial adalah pemilih psikologis yaitu pemilih yang terpengaruh dengan kegantengan atau kecantikan calon. Makanya banyak parpol yang berusaha mengeluarkan banyak uang untuk merekrut para artis untuk bergabung dengan parpolnya sebagai vote getters. Tingginya partisipasi pemilih baik dalam pemilu atupun pilkada bukan karena sebuah kesadaran pemilih untuk berpartipasi, tapi lebih kepada tekanan, intimidasi dan rayuan pihak lain. Itulah sebabnya pemilu kita sesungguhnya tidak lagi mengedepankan kedaultan rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Inilah sisi gelap dari sistim proporsional daftar terbuka. Sesungguhnya memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih langsung, tapi pilihan tidak memiliki nilai demokrasi karena tidak dimaknai sebagai kekebasan dalam memilih. Itulah sebabnya sebagai besar parpol tidak menginginkan sistim proporsional daftar tertutup. Sebab sistim ini menghruskan parpol yang harus mengupayakan sendiri pendanaan untuk menyuap atau menyogok pemilih. Berbeda dengan sistim proporsioanl terbuka yang oleh parpol mewajibkan masing-masing calon untuk menyediakan sumber pendanaan sendiri untuk mendaptkan suara sebanyak-banyaknya. Namun demikian sistim proporsioal tertutup bukan berarti tidak memiliki sisi gelapnya juga. Bisa jadi siapa actor yang menginginkan kursi DPR/DPRD dari parpol harus mengikuti poses lelang. Siapa yang memberi tawaran (uang) tertinggi maka akan mendaptkan kursi. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dalam setiap kali penentuan calon kepala daerah oleh parpol, modus mahar atau jual beli surat keputusan marak terjadi. Dalam hal penentuan ketua parpol di daerah, proses tawar menawar sulit di cegah. Di daerah, konflik parpol kerap terjadi karena ketua yang ditunjuk DPP bukan kader parpol. Kader yang telah berdarah-darah membesarkan parpol, tidak dipilih karena tidak punya uang setoran ke DPP. Demikian juga dengan hasil pemilu. Terdapat calon yang memiliki suara mayoritas, tapi dibatalkan oleh parpol dengan menggantikannya dengan calon lain yang memiliki suara sedikit. Kelemahan utama dari sistim proporsional tertutup adalah potensi terjadinya sistim lelang untuk mendapatkan kursi DPR/DPRD. Tulisan ini menyimpulan bahwa tidak ada satu sistim pemilu yang paling sempurna. Sistim apapun yang akan di putuskan MK kelak tetap akan menghadapi banyak risiko.(*)