25.4 C
Manado
Thursday, 23 March 2023

Flexing di Mata Dr Preysi Siby MPSi Psikolog, Pamer Harta Itu Racun, Kurang Berempati

MANADOPOST.ID— Pamer harta yang dilakukan orang pada umumnya itu bisa menjadi racun atau toxic, bagi lingkungan yang menyimak apa yang di upload di sosial media. Kita tidak pernah tahu orang yang melihat itu dalam kondisi moodnya lagi bagus atau tidak. Hal ini diungkapkan langsung Wakil Dekan II Fakultas Psikologi UKIT Dr Preysi Siby MPSi Psikolog dalam Podcast MP Talks di Grha Pena, Senin (06/03/23). “Banyak orang terlalu membanggakan diri, bahkan memamerkan harta di semua sosial media yang secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi toxic bagi orang-orang yang menyimak apa yang orang itu posting, karena di atas langit masih ada langit” ungkap Siby.

Diketahui, istilah Flexing menjadi perbincangan hangat setelah adanya kasus penganiayaan oleh anak pejabat pajak belum lama ini. Hal yang perlu diketahui, flexing merupakan kegiatan seseorang yang pamer tentang harta, pencapaian dan beberapa hal lainnya kepada orang lain.

Baca Juga:  Disoal Politisi NasDem, Ini Penjelasan Versi Legislator Banteng Terkait Nama RSUD ODSK

Preysi menyebut pola asuh dari orang tua serta lingkungan hidup berperan penting.

Dari pandangan psikolog, ia menjabarkan aspek-aspek pemicu dapat berupa anak tidak merasa diperhatikan, kurang berempati, hingga harapan tinggi menjadi perhatian di sosial media dan berujung pada memamerkan hal-hal yang tidak sesuai kondisi.

1491945 Adx_ManadoPost_InPage_Mobile

“Pamer medsos dengan apa yang dimiliki itu sangat tidak mengedukasi, karena banyak yang punya lebih dari itu tapi tidak menguploadnya. Kita harus tahu dan lebih berpikir kedepan, buat apa kita melakukan itu dan apakah ini akan menjadi edukasi buat anak-anak, keluarga dan lain-lain. Ataukah hanya membangun emosi atau rasa percaya diri sesaat,” tegasnya.

Di sisi lain, lulusan terbaik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini menambahkan cara untuk mengakali tindakan flexing yang tidak terpuji. “Terkait dengan hal tersebut itu ada ranahnya khusus, ada jalurnya khusus, kita bisa mengungkapkan rasa syukur itu bukan dengan memposting hal-hal seperti itu. Karena, kita tidak pernah tahu orang yang melihat itu dalam kondisi tekanan darah tinggi, mood emosinya lagi swing, atau perempuan lagi PMS, atau perempuan dewasa yang lagi masuk menopause itu kan beda stimulus dalam diri seseorang,” jelasnya.

Baca Juga:  PTUN Kandaskan Gugatan kepada PT TMS

Menutup diskusi yang dipandu host Filip Kapantow menyimpulkan bahwa flexing sebagai hal yang toxic (racun, red). “Jangan ada penyesalan karena apa yang kita lakukan sekecil apapun itu berdampak luas walaupun di media sosial dengan kekuatan jempol dan kuota. Itu berdampak luas, itu akan menjadi toxic dan itu juga akan menyakiti banyak hati orang. Kita tidak bisa mengetahui kapan hati orang itu bisa dipulihkan,” tutupnya. (*)

MANADOPOST.ID— Pamer harta yang dilakukan orang pada umumnya itu bisa menjadi racun atau toxic, bagi lingkungan yang menyimak apa yang di upload di sosial media. Kita tidak pernah tahu orang yang melihat itu dalam kondisi moodnya lagi bagus atau tidak. Hal ini diungkapkan langsung Wakil Dekan II Fakultas Psikologi UKIT Dr Preysi Siby MPSi Psikolog dalam Podcast MP Talks di Grha Pena, Senin (06/03/23). “Banyak orang terlalu membanggakan diri, bahkan memamerkan harta di semua sosial media yang secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi toxic bagi orang-orang yang menyimak apa yang orang itu posting, karena di atas langit masih ada langit” ungkap Siby.

Diketahui, istilah Flexing menjadi perbincangan hangat setelah adanya kasus penganiayaan oleh anak pejabat pajak belum lama ini. Hal yang perlu diketahui, flexing merupakan kegiatan seseorang yang pamer tentang harta, pencapaian dan beberapa hal lainnya kepada orang lain.

Baca Juga:  Gubernur OD Dorong Program Marijo Bakobong

Preysi menyebut pola asuh dari orang tua serta lingkungan hidup berperan penting.

Dari pandangan psikolog, ia menjabarkan aspek-aspek pemicu dapat berupa anak tidak merasa diperhatikan, kurang berempati, hingga harapan tinggi menjadi perhatian di sosial media dan berujung pada memamerkan hal-hal yang tidak sesuai kondisi.

“Pamer medsos dengan apa yang dimiliki itu sangat tidak mengedukasi, karena banyak yang punya lebih dari itu tapi tidak menguploadnya. Kita harus tahu dan lebih berpikir kedepan, buat apa kita melakukan itu dan apakah ini akan menjadi edukasi buat anak-anak, keluarga dan lain-lain. Ataukah hanya membangun emosi atau rasa percaya diri sesaat,” tegasnya.

Di sisi lain, lulusan terbaik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini menambahkan cara untuk mengakali tindakan flexing yang tidak terpuji. “Terkait dengan hal tersebut itu ada ranahnya khusus, ada jalurnya khusus, kita bisa mengungkapkan rasa syukur itu bukan dengan memposting hal-hal seperti itu. Karena, kita tidak pernah tahu orang yang melihat itu dalam kondisi tekanan darah tinggi, mood emosinya lagi swing, atau perempuan lagi PMS, atau perempuan dewasa yang lagi masuk menopause itu kan beda stimulus dalam diri seseorang,” jelasnya.

Baca Juga:  Usai Singapura, Gubernur OD Segera Jajal Australia-Korsel

Menutup diskusi yang dipandu host Filip Kapantow menyimpulkan bahwa flexing sebagai hal yang toxic (racun, red). “Jangan ada penyesalan karena apa yang kita lakukan sekecil apapun itu berdampak luas walaupun di media sosial dengan kekuatan jempol dan kuota. Itu berdampak luas, itu akan menjadi toxic dan itu juga akan menyakiti banyak hati orang. Kita tidak bisa mengetahui kapan hati orang itu bisa dipulihkan,” tutupnya. (*)

Most Read

Artikel Terbaru