MANADOPOST.ID— Memaknai Hari Perempuan Sedunia, Gerakan Perempuan Sulut (GPS) gelar
Focus Group Discussion (FGD) bersama Manado Post, Rabu (8/3).
Mengangkat topik ‘Mengawal Keterwakilan Perempuan Penyelenggara Pemilu di Sulut’, sejumlah narasumber kompeten, sekaligus lama dikenal sebagai pegiat perempuan di bidang masing-masing, hadir dalam kegiatan interaktif yang dipandu Host News Anchor Kawanua TV Regina Mangkey.
Sebagai lembaga, GPS melihat penting dan krusialnya kehadiran perempuan dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 mendatang.
Vivi George, perwakilan Swara Parangpuan (Swapar) Sulut menuturkan, melalui FGD berkomitmen bersama, akan mengawal dan memastikan tim seleksi punya perspektif untuk bisa menjalankan amanat undang-undang tentang keterwakilan perempuan.
“Dan ini dimungkinkan, dikarenakan dari tim seleksinya juga ada dari unsur perempuan. Supaya nanti dari 8 orang perempuan yang ikut seleksi, wajib ada yang bisa sampai ke tahap final. Berharap juga dari tim seleksi akan meloloskan dan juga tetap mengawal perwakilan perempuan. Hingga nanti masuk di tes wawancara dan penentuan oleh Tim KPU RI. Kami berharap di Sulawesi Utara, di KPU provinsi kan beberapa tahun berturut-turut ada perempuan. termasuk saya mantan komisioner provinsi, pada saat itu ada dua perempuan juga. Paling tidak dari lima perempuan ini, harus ada dua perempuan sebagai pengambil keputusan penyelenggara pemilu, artinya kami mendorong ada kepemimpinan perempuan yang menjadi penyelenggara, diharapkan sampai jadi implementasi di kabupaten/kota yang sementara di tahapan seleksi,” papar Vivi.
Senada disampaikan Perwakilan Kesetaraan Gender Keuskupan Manado Selvi Rumampuk. Dirinya berharap keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara Pemilu Serentak juga turut diimplementasikan oleh penyelenggara yang ada di tingkat kabupaten/kota.
“Selaras dengan amanat undang-undang ada 30% perwakilan dari perempuan, tapi kami juga mengharapkan supaya perwakilan dari perempuan itu ada di penyelenggara KPU maupun juga di Bawaslu. Sekarang Bawaslu juga berencana akan menambahkan 2 anggota baru, di situ kita mengharapkan supaya juga ada perempuan walaupun hanya satu saja, dan di KPU provinsi kami mengharapkan ada dua perwakilan dari perempuan,” pinta Rumampuk.
Sembari menambahkan, dirinya serta perwakilan peserta FGD lain meyakini, jika figur dan kapabilitas perempuan Sulut. Memiliki kualitas yang mumpuni, hebat dan berkomitmen tinggi pada tugas dan tanggung jawab yang melekat.
“Jika semua organisasi strategis dihuni oleh laki-laki. Yang ditakutkan ada opini yang menganggap jika perempuan Sulut tidak punya kemampuan. Tak mampu bersaing dengan laki-laki dan lain sebagainya.
Salah satu ikhtiar dari kegiatan ini, GPS ingin mengawal dan meminta ada keterwakilan perempuan dalam proses seleksi penyelenggara pemilu. Undang-undang bilang porsinya wajib 30 persen, tapi jika lebih malah lebih bagus menurut saya,” urai mantan Komisioner KPU Bitung 2 periode ini.
Lain hal dengan Pdt Ruth Ketsia Wangkai, yang menyoroti transparansi pelaksanaan seleksi calon penyelenggara Pemilu Serentak.
“Semisal tidak ada surat yang melegitimasi keikutsertaan Bawaslu dalam proses seleksi calon komisioner KPU. Sudah bukan masalah baru timsel yang ditentukan oleh KPU RI, hingga provinsi atau di tingkat kabupaten/kota, ada kecenderungan masih terafiliasi dengan kepentingan politik. Bagaimana caranya ingin melaksanakan pemilu yang demokratis sementara ‘pelaksana nya’ berasal dari kekuatan politik?” tanya Pdt Ruth.
“Kalau perlu dibuatkan seperti berita, para calon timsel, biar masyarakat tahu rekam jejak, detil dan apa pekerjaan mereka. Kan sekarang media massa sudah sangat banyak pilihannya,” tukasnya lagi.
Dirinya pun menyoroti kebiasaan calon-calon penyelenggara pemilu, merupakan urusan dari organisasi kepemudaan.
“Apakah organisasi seperti GMKI, GMNI dan lain-lain sudah menjadi salah satu unsur pengkaderan untuk masuk dalam penyelenggaran pemilu saat ini? Terbukti, lewat terpilihnya penyelenggara pemilu tak sedikit berasal dari unsur organisasi kepemudaan semisal NU dan Muhammadiyah,” tuturnya.
Sembari berharap, kiranya proses seleksi calon penyelenggara Pemilu yang saat ini sementara bergulir. Dapat melahirkan figur-figur terbaik, punya spirit demokrasi yang jujur dan berkeadilan. Lebih lagi menempatkan perempuan-perempuan berintegritas di dalamnya.
Sementara Fitri Mamonto dengan berapi api menjelaskan, bahwa persoalan ini sudah sering mereka bahas. Tapi masalah perempuan dikesampingkan dalam komisioner penyelenggara pemilu itu selalu terulang.
“Sudah capek. Tapi karena perjuangan, tidak ada kata capek. Kita harus terus berjuang mencari solusi. Menurut saya kunci agar keterwakilan perempuan di bawaslu itu bisa terpenuhi sesuai kota yang diperjuangkan, hanya satu kata. Timsel. Ada pada tim seleksi. Tim seleksi ini harus diperkuat orang orangnya. Tim seleksi ini juga harus diseleksi juga. Jangan tiba-tiba muncul dipercayakan menduduki posisi timsel. Tidak tahu dari mana, tiba tiba sudah dipublikasi ini timselnya. Timsel itu harus dipilih atau bahkan minta usulan dari masyarakat. Diseleksi kredibilitasnya. Mereka juga harus memahami sistem politik pemerintahan indonesia , sistem pemilihan umum dan kepala daerah dan juga yang penting timsel ini harus punya pemahaman soal perjuangan perempuan atau kesetaraan gender. Agar mereka juga ikut memperjuangkan perempuan dalam struktur penyelenggara pemilu atau bawaslu ini Sulut. Tidak harus perempuan itu personil timsel. Karena tidak menjamin. Seperti yang terjadi saat ini,” jelas Fitri yang juga adalah dosen Pascasarjana Unima.
Sementara Max Rembang menekankan, penentuan yim seleksi juga harus transparan. “Gunakan kekuatan media untuk bersuara, tidak hanya sebatas diskusi untuk mengawal tujuh orang yang tersisa dari perwakilan Sulut, dengan mengupas profil mereka masing-masing agar lebih dikenal massa.
Demokrasi Indonesia masih belum ideal. Perempuan Sulut bukan perempuan biasa,” katanya.
Lanjutnya, emang harus diakui bahwa dalam 5 tahun terakhir ini terjadi perubahan dalam proses seleksi.
”Sebelumnya kan kalo untuk seleksi penyelenggara pemilu ada dua, KPU dan Bawaslu, yang memang dibentuk sesuai amanat konstitusi untuk menjaga supaya demokrasi berjalan dengan baik. Tapi saya harus mengatakan bahwa demokrasi kita kan belum menemukan titik idealis, sedangkan kalo menurut saya demokrasi kita harus terus mencari dukungan yang ideal, tapi setidaknya harus ada gerakan. Saya senang disini berhadapan dengan perempuan-perempuan tangguh di Sulawesi Utara, jadi menurut saya kita harus melihat jangka panjang dan jangka pendeknya,” ujarnya.
Rembang menambahkan, karena kita di Indonesia ini masih kukuh dengan bahasa yang teknis, demokrasi itu akan maju kalo keterlibatan perempuan bukan hanya untuk ke sportivitas. “Karena kita memang harus jujur perempuan itu lebih tangguh daripada laki-laki, ini fakta secara fisik dan psikologis, kenapa lebih banyak janda daripada duda karena sesungguhnya Harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, perempuan diberi indera ke enam yang luar biasa,” lanjutnya lagi.
Dia menambahkan, menurutnya perempuan jangan dianggap remeh, apalagi perempuan di Sulawesi Utara ini, wali kota pertama perempuan, serta jendral pertama perempuan di Indonesia berasal dari Sulut.
”Jadi sebenarnya daerah ini kalau secara perskeptif perempuan saya katakan sudah tidak perlu, contoh lagi paling faktual disaat Minahasa membengkak menjadi Minahasa Utara, Minahasa Selatan dan Tomohon, ketiga itu adalah awal dari pemekaran serta fakta sejarah mengatakan ketiga ketua/anggota DPRD semuanya perempuan, minut ibu sus, Tomohon vonni paath, Minsel ibu marundu, itu sesuai fakta sejarah. Jadi di Sulawesi Utara ini sudah tidak di ragukan lagi tentang keterwakilan perempuan.
Jadi sebenarnya kalo di sulut itu sebenarnya kualitas perempuannya sudah tidak diragukan lagi, oleh karena itu jangka panjang untuk memperjuangkan ini, dan bagaimana regulasi ini yang betul-betul peduli terhadap kehadiran perempuan di dunia demokrasi dan penyelenggara pemilu. kemudian Timsel menurut saya bukan hanya di Tomohon dan Manado, memang Timsel itu menentukan walaupun sekarang yang menentukan ialah KPU pusat, kalau dahulu masih provinsi yang menentukan dan sampai kabupaten/kota. Menurut saya jangka panjang regulasi ini harus kita kawal, dan memang penyelenggara pemilu harus wajib adanya perempuan,” tandasnya.(*)